Diskriminasi Pendidikan Militer pada era Kolonial Belanda

Bookmark and Share


Tentara Nasional Indonesia adalah sebuah instansi militer yang bangkit dari sebuah kesadaran masyarakat Indonesia tentang dibutuhkannya sebuah kesatuan angkatan bersenjata yang dapat melindungi tanah air Indonesia dari ancaman-ancaman keamanan dan ancaman lain yang dapat mengganggu kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam membangun sebuah angkatan bersenjata yang kuat tidak hanya dibutuhkan persenjataan yang canggih dan taktik serta strategi yang kuat. Pendidikan bagi para calon prajurit, apakah itu tamtama, bintara ataupun perwira adalah suatu bagian yang sangat penting dari tegaknya sebuah angkatan bersenjata.

Lembaga pendidikan militer professional resmi yang pertama kali didirikan oleh tentara nasional Indonesia adalah sebuah akademi militer di Yogya yang disebut M.A. Yogyakarta pada tahun 1945. Salah satu alasan dari didirikannya M.A Yogyakarta ternyata adalah hasil sebuah ketidakpuasan terhadap kondisi pendidikan militer di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Sebelum M.A. Yogyakarta (selanjutnya akan disebut MA) didirikan, pendidikan perwira yang professional di Indonesia hanya didapatkan melalui pendidikan opsir militer Belanda yang membedekan kelas bagi bangsa Eropa dan bangsa Indonesia, Pendidikan untuk bangsa Eropa diadakan di Eropeesche Officier School dan untuk calon perwira pribumi dilaksanakan di Inlandsche Offiecieren school. Bagi perwira lulusan Inlandsche Offiecieren School yang ingin mendapatkan derajat yang sama dengan perwira Eropa, haruslah mengikuti pendidikan di Hogere Krijgs School, Belanda. Dan satu-satunya perwira Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di HKS Belanda dan mendapatkan pangkat Mayor KNIL adalah Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.

Sementara di K.M.A Breda, sebuah akademi militer Belanda yang didirikan pada tahun 1828 berkedudukan di kota Breda, Baru memberi kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan pendidikan militer yang setara dengan bangsa Eropa pada tahun 1933. Pembukaan kesempatan untuk Para calon perwira dari Indonesia ternyata masih mendapatkan beban berupa persyaratan diskriminatif dalam pendaftaran yang memungkinkan pihak militer Belanda untuk lebih selektif dalam memberikan kesempatan kadet pribumi untuk mengenyam pendidikan di Breda.

Persyaratan yang memberatkan calon kadet dari bangsa Indonesia antara lain adalah harus tamat H.B.S, Mengenyam pendidikan SLTA yang berbahasa Belanda dan yang paling diutamakan adalah mereka yang mempunyai darah biru alias darah bangsawan. Yang paling diskriminatif adalah KMA Breda hanya memberikan kesempatan untuk dua orang kadet bangsa Indonesia disetiap angkatannya, itupun dengan catatan seorang diantaranya adalah seorang indonesia yang telah menetap lama di Belanda. Pendidikan di K.M.A Breda berlangsung selama 3 tahun dengan sebuah kewajiban setelah lulus dimana para perwira tersebut harus mengucapkan sumpah setia kepada Ratu Belanda dan menjalakan karier di ketentaraan Belanda. Namun, lepas dari segala aspek diskriminatif yang diterapkan oleh KMA Breda, Beberapa perwira pribumi telah lulus dari akademi ini dan kelak dikemudian hari turut serta dalam pengembangan sekolah militer Indonesia , antara lain : G.P.H Purbonegoro, R. Suwardi Samijo, Wardiman, Suryadarma, Didi kartasasmita dan K.P.H Suryosuraso.

Menyadari bahwa Perang Pasifik semakin dekat dan kekuatan milisi pribumi semakin diperlukan, Pemerintah Belanda membentuk CORO (Corps Opleiding Reserfe Officieren) yaitu sekolah perwira cadangan di Indonesia, disusul dengan pendirian KMA Bandung pada tahun 1939 yang memiliki alumni yang cukup terkenal yaitu, A.H. Nasution dan G.P.H. Djatikusumo (kelak dikemudian hari kedua alumni KMA Bandung akan menjadi pemimpin tinggi di TNI, A.H. Nasution menjadi seorang Panglima ABRI dengan pangkat terakhir Jenderal Besar, G.P.H. Djatikusumo menjadi kepala staf AD yang pertama).

Jarang dan mahalnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan militer yang professional pada era pra-kemerdekaan sangatlah bertolak belakang dengan keadaan yang terjadi pada tahun-tahun setelah Jepang masuk ke Indonesia yang memang sangat mengandalkan kekuatan militer sebagai pihak utama yang mengatur keadaan tanah jajahan. Pada era Jepang, pendidikan kemiliteran justru diwajibkan kepada seluruh kalangan, termasuk santri, guru dan murid sekolah sebagai upaya mewaspadai persoalan pertempuran besar yang akan mengancam kedudukan Jepang di Indonesia, yaitu Perang Asia Timur Raya.

Dua keadaan yang bertolak belakang dalam hal pendidikan militer untuk pribumi juga dipengaruhi oleh pandangan Belanda dan Jepang yang memang bersebrangan dalam penempatan golongan pribumi didalam stratifikasi sosial. Diskriminasi dalam pendidikan Militer ini berusaha dihapuskan sendiri oleh Bangsa Indonesia dengan mendirikan sekolah-sekolah Militer yang menerima kadet-kadet dari Bangsa Indonesia sendiri guna dididik menjadi prajurit yang tangguh dan professional. Diskriminasi yang dialami oleh pendahulu-pendahulu kita seharusnya menjadi sebuah pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya kita dapat menyejajarkan kemampuan dan kapabilitas Bangsa Indonesia dengan bangsa lain, sehingga bangsa kita tidak dianggap sebagai bangsa yang rendah.

Ody Dwicahyo