W A H Y U

Bookmark and Share


Dikatakan “wahaitu ilaihi” atau “auhaitu” bila kita berbicara kepada seseorang agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan anggota badan.
Al-wahyu adalah kata masdar/infinitif, dan materi kata itu menunjukkan dua dasar, yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka dikatakan bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi, kadang-kadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha, yaitu penger tian isim maf’ul yang diwahyukan.

Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi :

Ilham, sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa, “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia …’.” (Al-Qashash: 7).
Ilham berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah, “Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia’.” (An-Nahl: 68).

Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al qur’an, “Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka, ‘Hendaknya kamu bertasbih di waktu pagi dan petang’.” (Maryam: 11).

Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia. “Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (Al-An’am: 121). “Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu mereka.” (Al-An’am: 112).

Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman’.” (Al-Anfal: 12). Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i mereka definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al muha (yang diwahyukan). Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali.

Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih dan senang. Definisi seperti ini adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf, tetapi pembedaannya dengan ilham di akhir definisi meniadakan hal ini.

Perkembangan ilmiah telah maju dengan pesat, dan cahayanya pun telah menyapu segala keraguan yang selama ini merayap dalam diri manusia mengenai roh yang ada di balik materi. Ilmu materialistis yang meletakkan sebagian besar yang ada di bawah percobaan dan eksperimen percaya terhadap dunia gaib yang ada di balik dunia nyata ini, dan percaya pula bahwa dunia gaib lebih rumit dan lebih dalam daripada dunia nyata ini, dan bahwa sebagian penemuan modern yang membimbing pikiran manusia menyembunyikan rahasia yang samar, yang hakikatnya tidak bisa dipa hami oleh ilmu itu sendiri, meskipun pengaruh dan gejalanya dapat diamati. Hal yang demikian ini telah mendekatkan jarak antara pengingkaran terhadap agama-agama dengan keimanan.
Dan itu sesuai dengan firman Allah, “Akan kami peril hatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al qur’an itu benar adanya.” (Fushilat: 35). “Dan, tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra: 85).

Pembahasan psikologi dan rohani kini mempunyai tempat yang penting dalam ilmu pengetahuan. Hal itu pun didukung dan diperkuat oleh perbedaan manusia dalam kecerdasannya, kecenderungannya, dan nalurinya. Di antara intelijensia itu ada yg istimewa dan cemerlang sehingga dapat menemukan segala hal yang baru. Tetapi, ada pula yang dungu dan sukar memahami urusan yang mudah sekalipun. Di antara dua posisi ini terdapat sekian banyak tingkatan. Demikian pula halnya dengan jiwa, ada yang jernih dan cemerlang, ada pula yang kotor dan kelam.
Di balik tubuh manusia ada roh yang merupakan rahasia hidupnya. Tubuh itu kehabisan tenaga dan jaringan-jaringan mengalami kerusakan jika tidak mendapatkan makanan menurut kadarnya. Demikian pula roh, ia memerlukan makanan yang dapat memberikan tenaga rohani agar dapat memelihara sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan lainnya.

Bagi Allah bukan hal yang jauh dalam memilih dari antara hamba-hamba-Nya sejumlah jiwa, yang dasarnya begitu jernih dan kodrat yang lebih bersih, yang siap menerima sinar ilahi dan wahyu dari langit serta hubungan dengan mahluk yang lebih tinggi, agar kepadanya diberikan risalah ilahi yang dapat memenuhi keperluan manusia. Mereka mempunyai ketinggian perasaan dan keluhuran budi, dan kejujuran dalam menjalankan hukum. Mereka itulah para rasul dan nabi Allah. Maka, tidaklah aneh bila mereka berhubungan dengan wahyu yang datang dari langit.

Manusia kini menyaksikan adanya hipnotisme yang menjelaskan bahwa hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi menimbulkan pengaruh. Ini mendekatkan orang pada pemahaman tentang gejala wahyu. Orang yang berkemauan lebih kuat dapat memaksakan kemauannya kepada orang yang lebih lemah, sehingga yang lemah ini tertidur pulas, dan ia kemudian menuruti kehendaknya sesuai dengan isyarat yang diberikan. Maka, mengalirlah semua itu ke dalam hati dan mulutnya. Apabila ini yang diperbuat manusia terhadap sesama manusia, bagaimana dengan yang lebih kuat dari manusia itu, yakni Allah Yang Maha Perkasa ?
Sekarang orang dapat mendengar suara yg direkam dan dibawa oleh gelombang eter, menyeberangi lembah dan dataran tinggi, lautan, dan daratan tanpa melihat si pembicara, bahkan sesudah mereka wafat sekalipun. Kini dua orang dapat berbicara melalui telepon, sekalipun yang seorang berada di ujung timur dan seorang yang lain berada di ujung barat, dan terkadang pula mereka berdua saling melihat dalam percakapan itu, sementara orang-orang yang duduk di sekitarnya tidak mengetahui sesuatu melainkan sekedar dengungan seperti suara lebah, persis seperti dengungan pada waktu turun wahyu.

Siapakah di antara kita yang tidak pernah mengalami percakapan dengan diri sendiri, dalam keadaan sadar atau tidur, yang pernah terlintas dalam pikirannya tanpa melihat orang yang diajak berbicara di hadapannya. Yang demikian ini serta contoh-contoh lain yang serupa cukup untuk menjelaskan kepada kita tentang hakikat wahyu. Orang yang sezaman dengan wahyu menyaksikan wahyu dan menukilnya secara mutawatir dengan segala persyaratan yang meyakinkan kepada generasi-generasi sesudahnya. Umat manusia pun menyaksikan pengaruhnya di dalam budaya bangsanya serta dalam kemampuan pengikutnya. Manusia akan tetap menjadi mulia selama tetap berpegang pada keyakinan itu, dan akan hancur serta hina bila sudah mengabaikannya. Kemungkinan terjadinya wahyu serta kepastiannya sudah tidak dapat diragukan lagi. Untuk itu, manusia harus kembali kepada petunjuk wahyu demi menyiram jiwanya yang haus akan nilai-nilai luhur.

Rasul kita, Muhammad SAW, bukan rasul pertama yang diberi wahyu. Allah juga telah memberikan wahyu kepada rasul-rasul sebelumnya. Seperti firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menyampaikan wahyu kepadamu seperti Kami telah menyampaikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah menyampaikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman.
Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud. Dan Kami telah mengutus rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yg tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisa: 163–164).
“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, ‘Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang yang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka ?’ Orang-orang kafir berkata, ‘Sesungguhnya orang ini (Muhammad) adalah benar-benar tukang sihir yang nyata’.” (Yunus: 2).

[Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Qur'an, Manna' Khaliil al-Qattaan]
www.ALISLAM.or.id, Jl. Pahlawan Revolusi, No 100, Jakarta 13430
Telpon: 62-21-86600703, 86600704, Fax: 62-21-86600712

Al-Qur’an Kalamullah – Bukan Makhluk

Syaikh Abu Utsman berkata :”Ashhabul Hadits bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang diturunkan, bukan makhluk. Barangsiapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia makhluk maka kafir menurut pandangan mereka.

Al-Qur’an merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan melalui Jibril kepada Rasulullah dengan bahasa Arab untuk orang-orang yang berilmu sebagai peringatan dan kabar gembira, sebagaimana firman Allah :”Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”. (Asy-Syu’ara: 192-195)

Al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah kepada umatnya sebagaimana yang diperintahkan Allah :”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu”. (Al-Maidah:67)

Dan yang disampaikan oleh beliau adalah kalamullah. Rasulullah bersabda :”Adakah seseorang yang mau membawaku ke kaumnya ?. Sesungguhnya orang-orang Quraisy menghalangiku untuk menyampaikan kalam (ucapan) Rabbku” (HR. Bukhari dalam Af ‘alul ‘ibad, At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Majah)

Al-Qur’an yang dihafal dalam hati, dibaca oleh lisan, dan ditulis dalam mushaf-mushaf, bagaimanapun caranya Al-qur’an dibaca oleh qari, dilafadzkan oleh seseorang, dihafal oleh hafidz, atau dibaca dimanapun ia dibaca, atau ditulis dalam mushaf-mushaf dan papan catatan anak-anak dan yang lainnya adalah kalamullah ! bukan makhluk. Barangsiapa yang beranggapan bahwa ia makhluk, maka telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung.

Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata : “Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk. Barang-siapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung, tidak diterima persaksiannya, tidak dijenguk jika sakit, tidak dishalati jika mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia diminta taubat, kalau tidak mau maka dipenggal lehernya.” (Sanadnya shahih, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffadz)
Abu Ishaq bin Ibrahim pernah ditanya tentang lafadz Al-Qur’an, maka Beliau berkata : “Tidak pantas untuk diperdebatkan. Al-Qur’an kalamullah, bukan makhluk.”
Imam Ahmad bin Hambal berkata : “Orang yang menganggap makhluk lafadz Al-Qur’an adalah Jahmiyah, Allah berfirman :’…maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalamullah’ (At-Taubah : 6). Dari mana ia mendengar ?” (Sanadnya shahih)
Abdullah bin Al-Mubarak berkata : “Barangsiapa yang mengkufuri satu huruf Al-Qur ‘an saja, maka ia kafir (ingkar) dengan Al-Qur’an. Barangsiapa yang mengatakan : “Saya tidak percaya dengan Al-Qur’an”, maka ia telah kafir”

Maraji’ [referensi] :
Aqidah Salaf Ashhabul Hadits, oleh Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni (373H – 449 H).

http://forsitek.brawijaya.ac.id/index.php?do=detail&cat=artikel&id=art-kalamullah

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 034/th.04/Sya’ban-Ramadhan 1428H/2007M