Tanggapan atas tulisan Satanisme Majapahit

Bookmark and Share


Tanggapan lebih jauh yang menyoroti beberapa pernyataan dalam tulisan ”Satanisme Majapahit”.

1. Pernyataan ”Dalam filem dokumenter karya Karkoons….”

Tanggapan saya:

Informasi yang disajikan masih kabur, filmnya berjudul apa dan tidak jelas siapakah tokoh Karkoons ini

2. Pernyataan ” …..piramida terpancung atau piramida tidak sempurna…. Simbol tersebut adalah Illuminati yang menggambarkan sebuah struktur kehidupan umat manusia di dunia. Dalam ajaran Hindu dikenal dengan nama stratifikasi sosial.”

Tanggapan saya:

Saya belum bisa memastikan apakah penulis telah mengenal seluk beluk agama Hindu, semoga penulis paham apa itu konsep Catur Warna. Saya sarankan bagi penulis untuk mempelajari Bhagavad Gita (4:13) tentang Gyan Karma Sanyas Yoga. Banyak yang menafsirkan Gita bahwa Sri Krishna menciptakan dinding pemisah dalam bentuk sistem kasta. Padahal makna sejatinya adalah bahwa kesadaran Ilahi dapat dicapai oleh siapapun, tanpa memandang status sosialnya, dan bukan monopoli kelompok tertentu.

3. Pernyataan ” … bagi pengikut satanisme yang menghasilkan budaya seks bebas, narkoba, homoseksual, lesbian, dan penyimpangan-penyimpangan lain”

Tanggapan saya:

Kembali untuk perkara seks, energi seks tidak bisa ditekan dengan semata peraturan atau perundangan. Justru sebaliknya Tantra dan candi Sukuh memberi panduan untuk mengoptimalkan kepuasan seksual manusia bersama pasangannya di atas ranjang. Sehingga dengan cara ini sifat hewani dalam diri manusia tidak akan mencemari masyarakat. Mencemari masyarakat dengan kehewanian kita, seperti meniduri istri orang, atau bawa kabur anak gadis orang, justru bisa jadi bentuk penyimpangan sesungguhnya.

Istilah homoseksual sebenarnya masih generik, secara spesifik ada istilah lain yaitu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Terlebih sebelum memberi stigma homoseksual dan lesbian sebagai penyimpangan, penulis perlu membaca buku Genetika Kelamin yang disusun oleh Prof. Duran Corebima, guru besar Biologi UM untuk mendapatkan pandangan yang jauh lebih jernih.

4. Pernyataan ” ….kebudayaan satanisme yang mengajarkan pada kebebasan menurut kehendak tercermin pada salah satu peninggalan arsitektur budaya pada akhir masa Majapahit” dan ”cinta adalah hukum, cinta dengan kehendak, jadi lakukan apa kehendakmu”.

Tanggapan saya:

Nampaknya kita harus membahas kembali tentang Tantra dan seks. Institusi agama memang memiliki seperangkat peraturan yang bersifat mengikat. Ada keyakinan yang melarang perbuatan tertentu; dan ada keyakinan yang memperbolehkan perbuatan tertentu. Silahkan tiap pribadi untuk mengikuti ketetapan sesuai keyakinan yang dianut.

Tantra tidak akan mencampuri keputusan seseorang untuk mengikuti anjuran agamanya, pun Tantra tidak mengajarkan pengikutnya untuk berkehendak semau sendiri. Seperti perkara seks, Tantra tidak berbicara tentang boleh-tidaknya. Yang diurusi adalah soal keinginan, obsesi. Apabila masih ada keinginan untuk seks, silahkan dilakukan selama ada kesadaran untuk tidak melukai atau menyakiti siapapun. Puaskan dahaga tentang seks dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Hewan melakukan hubungan seks karena instink hewani mereka, semata karena kebutuhan biologis. Yang terjadi, sepenuhnya adalah interaksi fisik. Akan tetapi lain dengan manusia, hubungan seks yang terjadi seharusnya juga merupakan interaksi mental-emosional. Nampaknya kita juga harus mendefinisikan ulang apa arti ”perkosaan”. Ketika bersenggama, bila seseorang laki-laki atau perempuan tidak memikirkan kepuasan pasangannya, bila dia hanya memikirkan kepuasannya sendiri, maka dia telah melakukan perkosaan. Senggama yang dilakukan semata pelampiasan nafsu birahi tanpa keterlibatan mental emosional, maka tiada beda dengan hewan. Kendati dilakukan suka sama suka.

Tantra mengajarkan tahap pertama menuju kesadaran Ilahi adalah melalui kehidupan seks. Senggama antara suami istri harus melibatkan seluruh kesadaran mereka. Harus tercipta interaksi mental-emosional, harus ada cinta dan tanggung jawab di antara mereka. Adalah kekeliruan besar berhubungan badan dengan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Seks semacam itu masih dikuasai instink hewani dan belum manusiawi. Sebaliknya bila dalam hal berhubungan badan saja belum manusiawi, maka muncul obsesi-obsesi liar seperti menikahi lebih dari satu perempuan, atau berganti-ganti pasangan. Singkat kata, Tantra mengajarkan untuk tidak sembarang kawin dengan siapa saja dan karena ”kegatelan”.

Keindahan dan kelembutan dalam bersenggama akan memberi kepuasan yang luar biasa, sehingga pelaku Tantra tidak selalu membutuhkan dan tidak akan terjadi pemborosan energi. Dengan tidak adanya pemborosan energi, hidup manusia akan jauh lebih berenergi.

Bila dalam hal berhubungan badan saja sudah cukup manusiawi, maka kemanusiaan seseorang akan senantiasa berkembang. Inilah tahap berikutnya dalam Tantra, dimana energi cinta ditingkatkan menjadi energi Kasih melalui latihan-latihan tertentu. Setelah mewujud dalam bentuk energi kasih, maka kesadaran manusia makin berekspansi, meluas, untuk mengasihi sesama tanpa pamrih, tanpa batas, dan tanpa syarat.

Seorang praktisi Tantra adalah ilmuwan sejati, dirinya telah membuka diri untuk belajar dari siapapun, di mana saja, dan kapanpun. Sebagai contoh: seni menjinakkan ular sebenarnya berasal dari tradisi Tantra. Karena cukup lama tinggal di pedalaman yang jauh dari keramaian kota, maka praktisi Tantra belajar untuk hidup berdampingan dengan semua penghuni belantara, termasuk ular berbisa.

Sejak ribuan tahun yang lalu, praktisi Tantra menyadari bahwa kepunahan satu jenis binatang akan mengacaukan keseimbangan ekosistem—sesuatu yang baru disadari ilmuwan modern saat ini. Itu sebabnya mereka tidak membunuh ular dan hewan berbisa lainnya. Mereka justru mengembangkan keterampilan bersahabat dengan ular. Ular berbisa yang mereka temukan diberi minuman berupa susu sapi segar. Ular pun membalas kasih dengan kasih, sekali minum susu pemberian manusia, mereka berhenti mematuk manusia. Bahkan akan melindungi para praktisi Tantra dari marabahaya.

Oleh karenanya praktisi Tantra menjadikan ular sebagai simbol kebijaksanaan. Mereka ingin menunjukkan bahwa manusia bisa belajar dari siapapun. Bagi seorang praktisi Tantra, binatang buas dan alam semesta adalah bukti kehadiran Allah. Inilah ajaran Mahamudra yang diwariskan Naropa dan Tilopa. Manusia Indonesia belum memiliki kebijaksanaan seperti itu, untuk mempelajari suatu hal dari seseorang, biasanya kita masih selalu bertanya agamanya apa dan bagaimana latar belakangnya.

Khusus utk penulis yang saya hormati, saya ingin mengutip beberapa hal yang pernah diutarakan Sultan HB X, antara lain sebagai berikut.

”…saya bisa katakan membedah budaya Jawa ibarat membedah hutan simbol yang amat rimbun. Budaya Jawa adalah belantara simbol yang penuh tantangan, keunikan, sekaligus daya tarik yang menggoda”

”Budaya Jawa memang penuh bunga semerbak. Banyak hal yang sinamuning samudana, tersamar, antik, artistik, dan estetis. Di dalamnya terdapat aroma romantis, mistis, dan filosofis”

”Tak akan habis-habisnya jika orang mau membicarakan budaya Jawa, terutama aspek-aspek falsafah hidup Jawa, dan tak akan membosankan karena penuh makna dan banyak timbunan sejuta filosofi yang merangsang keingintahuan”

Oleh karena itu mohon penulis merenungkan kembali, bila leluhur kita pernah melahirkan karya yang bermutu tinggi seperti Kakawin Sutasoma, Serat Wedatama, atau Serat Nitisastra, mungkinkah ini semua dihasilkan dari peradaban satanisme? Tradisi Tantra telah lahir ribuan tahun sebelum munculnya agama-agama besar di Timur Tengah, kita tidak bisa seenaknya mengklaim diri kita yang paling benar.

Perlu saudara pahami bahwa ajaran Tantra bersifat sangat eksklusif, ajaran ini bukan untuk konsumsi umum. Ajaran ini benar-benar custom-made, tailor-made, bukan karena pilih kasih, akan tetapi hanya untuk mereka yang mencapai jenjang tertentu dalam pengetahuan rohani, selected few. Banyak hal memang sebaiknya disembunyikan di balik yang tersurat. Anda bisa belajar biologi kendati tidak menyukai pelajaran tersebut, tetapi Anda tidak bisa menjadi penyanyi bila tidak suka menyanyi. Untuk menjadi penyanyi profesional, Anda harus menyukai profesi Anda. Profesi lain tidak akan menuntut kesetiaan seperti itu. Hal serupa berlaku untuk Tantra.

Oleh karena itu tidak jarang seorang ahli Tantra secara sengaja menciptakan kondisi untuk menyingkirkan mereka yang cuma sekedar usil ingin tahu, mereka yang sekedar mengetahui Tantra dari buku atau apa kata orang. Terlebih bagi mereka yang masih terbelenggu dengan suatu dogma/doktrin tidak akan bisa memahami Tantra.

Sebagai perumpamaan, manfaat listrik bisa dirasakan oleh siapa saja, tetapi pengetahuan listrik tidak bisa dikuasai siapa saja. Mahasiswa Fakultas Teknik jauh lebih paham tentang listrik. Tantra memang tidak pernah dilembagakan, hal ini karena setiap terjadi pelembagaan suatu ajaran akan muncul pertikaian antar pihak yang mengklaim interpretasinya paling benar. Jadi tidak perlu googling di internet untuk mencoba mengulas Tantra. Membahas secara intelektual tanpa menyelam ke dalamnya tidaklah bermakna.

Jangan pula terjebak oleh label, nama, atau sebutan. Bila di India disebut Tantra, maka di belahan dunia lain bisa jadi sebutannya Tarekat Naqsabandiyah atau mungkin Zen, bahkan sampai saat ini di berbagai penjuru Nusantara bisa kita temukan pengetahuan rohani semacam Tantra, hanya saja mereka jarang tampil ke permukaan. Kebetulan saja Tantra adalah yang tertua dari semuanya.

Saya sendiri bukan praktisi Tantra. Saya serahkan sepenuhnya pada saudara apakah setuju dengan tanggapan saya atau tidak. Sebisa mungkin saya berupaya tidak menyinggung saudara secara pribadi atau menggurui Anda. Anda jauh lebih muda dari saya dan masih punya potensi yang luar biasa untuk digali, saya yakin pencapaian Anda di masa depan kelak akan jauh melampaui saya.


-Salam Persahabatan untuk Saudaraku Rakai Hino-

Moch. Haikal