Sosok Tun Perak

Bookmark and Share


Sebagai peminat sejarah Melayu dan Aceh, jika kita membuka hikayat tempoe doeloe, selalu menimbulkan kesan yang mendalam terhadap tokoh dan ketokohan mereka. Setiap hikayat selalu ada aneuk muda yang menjadi simbol sebuah cerita dan martabat masyarakat yang sedang dikisahkan. Terlepas itu legenda atau kisah nyata, namun budaya aneuk muda dalam setiap hikayat di Aceh dan Melayu adalah sebuah keniscayaan.

Ada seorang bijaksanawan Melayu, yang dikenal dengan sebutan Tun Perak. Dalam catatan sejarah Melayu karya Tun Seri Lanang, tersebut kisah di negeri Melaka pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah. Terdapat seorang tokoh yang sangat santun perangainya dan sangat tegas sifatnya. Sehingga nama tokoh ini kerap dibicarakan dalam Dunia Melayu dan dia terus menjadi legenda tanah Melayu hingga kini. Tun Seri Lanang dalam kitabnya Sulalat as Salatin memposisikannya sama dengan Gajah Mada di Majapahit dan Orang Kaya Raja Kanayan di Samudera Pasai.

Nama tokoh Melayu tersebut adalah Tun Perak. Legenda Melayu ini merupakan anak kedua dari tiga orang bersaudara anak Bendahara Seri Wak Raja. Dia adalah Tun Kudu, menjadi Istri Sultan Muzaffarsyah, adiknya Tun Bendahara Puteh. Dalam sejarah Dunia Melayu ketokohan Tun Perak kerap menjadi contoh karena sifatnya yang tidak gila kekuasaan, berani tidak populer pada saat orang lain bersikap mencari muka. Dia pernah disingkirkan dari kekuasaan Melaka oleh pembisik istana keturunan India, Tun Ali. Namun, sebagai permata Dunia Melayu, Tun Perak tetap setia pada negeri dan bangsanya, sehingga beliau dinanti-nantikan kehadirannya dalam lingkungan kerajaan.

Bahkan Sultan Muzaffar Syah mencabut jabatan bendahara (Mangkubumi Negeri Melaka) dan dialihkan kepada pembisik istana, Tun Ali. Adapun pembisik ini mendapat gelar Seri Nara Di Raja. Tun Perak tidak melawan walaupun dia bisa melakukanya. Menurut riwayat, dia mendekatkan diri dengan rakyatnya dan bermukim dan menjadi penghulu di Klang, wilayah Selangor sekarang ini.

Tetapi, setelah Siam menyerang negeri Melaka, Tun Perak tampil sebagai panglima perang, mengusir tentera Siam yang ingin menjajah negerinya. Pada saat yang sama pembesar pembesar Melaka lainnya malah bekerja sama dengan negeri Siam dan mengkhianati sultannya, agar tetap dipercaya menjadi pembesar negeri Melaka. Berbeda dengan Tun Perak, dia tetap setia pada sultan dan bangsanya. Akhirnya, sultan sadar terhadap kebijakannya yang salah, terlalu mendengar pada pembisik dimana hampir hampir negeri tergadaikan ke tangan musuh. Akhirnya, jabatan Bendahara Melaka dikembalikan kepada Tun Perak dengan gelar Bendahara Paduka Raja. Konon menurut sahibul hikayat, jabatan ini sangat bergengsi di Negeri Melaka. Kalau dibandingkan dengan situasi sekarang, jabatan tersebut mirip dengan posisi Perdana Menteri.

Kembalinya jabatan Bendahara di tangannya tidak lantas menyebabkan Tun Perak membalas dendam pada musuh musuh yang telah menjebaknya dan telah mengkhianati bangsanya. Akhir dari episode cerita Tun Perak adalah: Disatukan kembali seluruh penduduk negeri Melaka untuk membangun negerinya. Sifat tidak dendamnya dikisahkan dalam Sulalat as Salatin dimana Tun Ali yang pernah mengkhianati dirinya menitipkan anak anaknya untuk dipelihara oleh Tun Perak dan memberikan lima peti emas. Amanah ini ditunaikannya setelah anak anak Tun Ali dewasa. Kelima peti emas ini dibagi secara adil kepada anak Tun Ali, musuhnya, dan tidak memanfaatkan kesempatan menyapu bersih harta musuhnya dan membiarkan anak musuhnya hidup merana.

Membaca kisah di atas, tentu saja sangat mengharukan. Sebab, sosok Tun Perak begitu melegenda di Bumi Melaka. Dia hampir sama dengan sosok Tun Sri Lanang dari Johor yang menjadi orang penting di Samalanga. Karena itu, siapa pun yang diberikan gelar Tun Perak, konon menurut sahibul hikayat, haruslah seseorang yang berjiwa abdi negara. Dia harus berkhidmat kepada kaum dan bangsanya. Sosok Tun Perak di Malaysia masih disimpan dalam denyut nadi pemerintahan dan pertadbiran Kerajaan Melayu.

Sejauh ini, gelar Tun Perak pun tidak akan diberikan kepada siapa pun, kecuali mereka yang mampu mengembang misi apa yang pernah dilakukan oleh Tun Perak sendiri dalam sejarah Kerajaan Melaka. Untuk itu, ketika gelar ini diberikan pada seseorang, maka dia menjadi Duta masyarakat Melayu, tidak hanya bagi kaumnya, tetapi bagi Dunia Melayu secara keseluruhan. Saya memandang, rakyat Aceh sangat merindukan sosok Tun Perak saat ini. Dengan kata lain, mereka tidak mau menerima sosok Tun Ali yang selalu menjadi pengkhianat.

Jika dikaitkan dengan situasi politik di Aceh saat ini, sosok Tun Perak sebenarnya sudah muncul. Namun, kemunculan Tun Perak tidaklah lahir melalui proses satu malam. Tun Perak harus ditempa oleh sejarah dan mampu menghadapi semua cobaan, baik dari dalam maupun luar dirinya. Karena itu, siapa pun yang mendapat gelar Tun Perak dari Tanah Seberang, perlu memikirkan falsafah perjuangan membangun umat. Tidak boleh lari dari apa yang pernah dilakukan oleh Tun Perak yang asli, sebagaimana termaktub dalam Sejarah Melayu.

Di Aceh, sosok manusia baik dan sempurna selalu lahir secara terus menerus. Mereka yang menjadi penyangga negeri, selalu hidup menyesuaikan bakti dan darmanya kepada ibu pertiwi. Hanya saja, kemampuan sosok-sosok seperti Tun Perak ini tidak bisa mencuat. Karena dia berani tidak populer, ketika orang lain hendak menyulur wajahnya ke hadapan. Pelajaran lain dari sosok Tun Perak adalah kemampuan seseorang mampu bertahan dalam segala medan, termasuk dikhianati oleh teman sendiri.

Akhirnya, kita berharap dalam Pilkada tahun depan, sosok Tun Perak ini bisa menjadi tokoh dan ikon sejarah Aceh modern. Sebab, kerinduan rakyat Aceh pada sosok yang mulia memang menjadi perhatian kita semua. Apalagi saat ini orang berlomba-lomba menjadi pemimpin, namun abai pada falsafah dan etika kepemimpinan. Dalam sejarah Melayu, sosok Tun Perak telah memberikan contoh bagi kita bagaimana menjalankan pemerintahan saat aman dan genting.

M Adli Abdullah