Penggalan Kisah di “Zaman PKI”

Bookmark and Share


Judul di atas sudah sedikit menjelaskan kalau tulisan saya ini memuat beberapa kisah yang terjadi selama Partai Komunis Indonesia (PKI) eksis hingga terkubur dalam sejarah republik ini.



Itulah yang saya maksudkan dengan “zaman PKI”. Ini hanya kisah orang-orang terdekat yang mengalami zaman itu. Jadi bukan tulisan yang ingin menambah kontroversi sejarah PKI. Saya sendiri tidak pernah sepenuhnya mempercayai satu versi tentang PKI seperti yang didoktrin oleh Orde Baru atau teori-teori konspirasi yang muncul pasca Reformasi. Bagi saya semuanya masih misterius karena banyak fakta yang belum terungkap. Biarkan para pakar sejarah yang membahasnya.



PKI yang masuk empat besar pada pemilu 1955 semakin tumbuh menjadi kekuatan politik, menyaingi kekuatan nasionalis dan agama. Orang-orang yang hidup di zaman itu, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, pasti merasakan kuatnya mobilisasi massa oleh PKI, entah untuk rapat akbar, kerja bakti atau aktivitas lainnya. Stadion Gelora Bung Karno menjadi saksi mati dari kekuatan massa PKI kala itu. Tidak sebatas kota-kota besar, jaringan PKI juga mengakar hingga ke kampung-kampung.



Menurut saya PKI juga memiliki kekuatan “ politik simbol” untuk mempengaruhi pikiran masyarakat. Ini istilah saya sendiri karena ketika melihat rekaman-rekaman film dokumenter pada era tersebut, gambar Palu dan Arit dengan merah sebagai warna dominan terpampang di mana-mana. Tiap sudut kota berkibar spanduk, bendera, atau mural lambang PKI dalam ukuran besar yang mewarnai tembok-tembok di pinggir jalan.



Logikanya jika tiap hari orang melihat simbol atau lambang tersebut maka PKI bisa menjadi dominan dalam pikiran mereka. Ini bisa saja cuma asumsi tetapi nyata dialami oleh ibu mertua saya. Beliau sebenarnya lahir di Yogyakarta, tetapi sejak kecil turut pindah ke Jakarta bersama orang tuanya. Beliau tumbuh dalam bayang-bayang kekuatan PKI. Setidaknya sejak SD hingga akhir SMP simbol-simbol PKI sering dilihatnya di mana-mana, khususnya ruang-ruang publik.




Saya ingin mengisahkan kembali bagaimana “politik simbol” PKI mempengaruhi beliau yang ketika itu masih kecil. Ada saat di mana beliau mendapatkan tugas sekolah untuk menggambar sesuatu dengan tema bebas, sesuai dengan keinginan para murid. Coba tebak apa yang digambar oleh beliau? Ternyata lukisannya adalah Palu dan Arit, lambang dari bendera PKI. Beliau mengakui bahwa ketika itu di benaknya hanya ada gambar Palu dan Arit karena sangat sering dilihatnya. Tidak mungkin beliau adalah simpatisan PKI karena saat itu masih kecil. Jadi layaknya anak-anak, hal apa yang dilihat maka hal itupun yang diekspresikan. Itu satu kisah seorang anak kecil yang tumbuh dan berkembang di “zaman PKI”. Zaman di mana simbol PKI sangat dominan dalam kehidupan masyarakat, dalam berbagai tingkat usia.



Ternyata kekuatan PKI tidak kekal. Bukan cuma kekuatan politik dan organisasi saja, namun orang-orangnya pun diberangus TNI akibat pergolakan 30 September atau 1 Oktober 1965, entah mana yang benar. Apapun misteri di balik peristiwa tersebut, bukan kapasitas saya untuk membahasnya. Saya cuma ingin tahu apa kisah orang-orang, entah simpatisan/anggota PKI atau orang-orang yang dituduh menjadi anggota PKI. Pasti banyak kisah tapi saya ingin menuturkan yang saya dengar dari saksi hidup.



Kisah pertama dari Yogyakarta. Tahun 1965 ketika pergolakan itu terjadi, Om saya sudah tercatat sebagai mahasiswa salah satu universitas di Yogyakarta. Ia berumur 20 Tahun kala itu. Sebagai seorang mahasiswa yang aktif, ia juga tergabung dalam Resimen Mahasiswa (Menwa) di kampusnya. Suatu saat Ia dan teman-temannya sesama anggota Menwa mengikuti latihan menembak. Sasarnnya adalah objek menyerupai manusia yang terbuat dari jerami. Singkat kata latihan pun berlangsung. Satu demi satu mulai menembaki sasaran yang cukup jauh, sesuai jarak tembak senjata yang digunakan. Semuanya berjalan dengan wajar hingga beberapa di antara mereka mendengar rintihan orang ketika tembakan tepat mengenai sasarannya. Mereka bertanya-tanya suara siapakah itu? Pelatih mereka pasti mendengarnya juga tetapi mengapa tidak bereaksi? Apakah ada objek hidup di balik objek mati yang menjadi sasaran tembak tersebut? Yang pasti bukan rakyat biasa. Menurut Om saya kemungkinan orang yang merintih tersebut adalah anggota PKI.



Mungkin pada zaman itu hanya segelintir yang berhasil lolos dari maut atau jeruji besi. Tidak hanya di kota-kota besar, pengejaran terhadap anggota PKI juga terjadi di kota-kota kecil, seperti kota Larantuka, tempat Ayah dan Ibu saya lahir dan tumbuh menjadi dewasa. Meskipun kota ini didominasi oleh Partai Katolik ( Parkat) karena mayoritas penduduknya beragama katolik, ada juga penduduknya yang katanya berafiliasi dengan PKI. Mereka yang tertangkap menjadi tontonan warga karena sering disuruh lari pada siang hari menyusuri jalan di kota yang kecil itu. Biasanya ada juga warga yang dipilih menjadi Algojo atau Penjagal para “ antek PKI “ yang malang nasibnya. Ada cerita yang berkembang bahwa salah seorang Algojo mendapatkan karma karena profesi tersebut yaitu salah satu anaknya menderita gangguan jiwa.



Saya sangat kagum dengan data intelijen pada saat itu yang mengetahui anggota-anggota PKI hingga ke basis masyarakat yang terkecil. Ada kisah bagaimana anggota PKI dideteksi. Salah satu cara yang diterapkan kala itu untuk mengetahui afiliasi masyarakat dengan PKI adalah dengan mengumumkan kepada warga kampung (salah satu daerah di NTT) bahwa PKI akan membagikan beras di lapangan terbuka. Bagi yang ingin mendapatkannya disuruh berlari menuju ke tempat tersebut. Maka beramai-ramailah orang kampung itu berlari menuju tempat yang dimaksud. Ternyata mereka terjebak. Mereka yang ingin mendapatkan beras dari PKI dituduh berafiliasi dengan organisasi tersebut. Nasib mereka sama dengan nasib “tertuduh antek PKI” lainnya. Sad ending bagi PKI secara organisasional, tetapi lebih menyedihkan nasib para “tertuduh” tersebut.


Itulah penggalan kisah di “zaman PKI”. Zaman di mana perubahan secepat membalikkan telapak tangan. Kejayaan menjadi kehancuran, from hero to zero. Tidak ada yang pasti. Hari ini adalah petani biasa, esok menjadi orang yang diburu pelor, pedang terhunus dan bayangan kamar gelap tanpa sinar matahari. Jadikanlah “zaman kelam” ini sebagai pelajaran bagi generasi selanjutnya.


Yohanes Apriano Fernandez