Napak Tilas Peninggalan Tradisi Megalitik di Bogor

Bookmark and Share


“Untuk mengetahui sejarah masa lalu pendahulu kita, hal yang paling mudah adalah dengan melihat peninggalan yang kasat mata berupa benda-benda bersejarah. Benda tersebut bisa berupa bangunan kuna, barang pusaka, prasasti, naskah kuna, dll,”begitulah bunyi paragraph ketiga tulisan Tentang-nya Grup Napak Tilas Peninggalan Budaya dengan Kang Hendra M Astari sebagai kepala sukunya. Maka tidaklah heran bila group dengan keanggotaan terbuka dan (masih) beranggotakan 400-an pencinta sejarah ini sering mengadakan kunjungan ke tempat-tempat bersejarah yang tersebar di Kotamadya dan Kabupaten Bogor.



Minggu, 13 Nopember 2011 adalah hari kegiatan Napak Tilas ke-6 yang diselenggarakan grup ini dengan tempat yang dituju adalah Situs Purbakala Cibalay, terletak di Kampung Cibalay Desa Tapos I Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. Situs ini merupakan peninggalan jaman prasejarah, tepatnya pada jaman Megalitikum, dengan bukti peninggalannya berupa menhir, punden berundak yang saat dibuat oleh nenek moyang berfungsi sebagai tempat pemujaan.


Untuk mencapai TKP, kami naik angkot 03 Faten di Lawang Saketeng (dekat Bogor Trade Mall) jurusan Tenjolaya, turun di terminal Faten disambung naik ojeg ke Villa Sutiyoso. Atau bagi yang dekat daerah Bogor Barat naik angkot 03 jurusan terminal Laladon, lalu naik angkot Tumaristis, turun di terminal Faten. Perjalanan dari Lawang Seketeng ke Tenjolaya kira-kira sekitar 45 menit.


Napak tilas sekaligus hiking kali ini, menurut seorang peserta yang tidak pernah absen ikut, merupakan acara dengan medan tempuh cukup berat, terutama bagi peserta yang suka meleng karena terlalu narsis. Ada seorang peserta yang sampai 4 kali jatuh karena kehilangan keseimbangan akibat hobi melengnya itu. Acara yang sedianya diikuti 28 anggota grup akhirnya dimulai pada pukul 10 dan berakhir pada pukul 13.30-an, maka tidak heran bila beberapa peserta mengalami nyeri otot tungkai bawah (paha dan kaki), malah ada yang sampai susah ruku dan sujud karena ototnya stress, tiba-tiba harus bekerja keras jalan jauh.


Dengan memasuki hutan, lalu pada areal yang lebih tinggi melewati hutan konifer, sampailah kami di situs yang pertama kami kunjungi, yaitu Situs Punden Pasir Manggis I. Sebelumnya kami melewati Situs Punden Pasir Manggis II yang terletak tak jauh dari Manggis I, dengan luas areal dan ukuran lebih kecil. Struktur yang ada di kedua situs ini berupa punden berundak dan menhir dengan berbagai ukuran. Lalu perjalanan dilanjutkan menuju ke Situs Batu Bergores. Medan yang kami lalui memang tidak membuat nafas terengah-engah karena jalan setapak yang menurun, namun yang membuat sulit adalah jalanan menurun yang licin. Situs ini terletak pada daerah yang terbuka. Di sini kami melihat beberapa gundukan batu dan menhir tersebar di beberapa titik. Perjalanan kami lanjutkan dengan melewati hutan bambu dengan beberapa kali diiringi musik alam berupa gemericik air pegunungan. Lalu kami tiba di Situs Cibalay dengan areal yang cukup luas dan bernuansa hijau. Situs ini terlihat terpelihara dan kerap dikunjungi orang. Makanya tidak heran jika akses menuju situs ini tidak sulit seperti menuju situs-situs sebelumnya.


Setelah puas berfoto ria dan makan sajian berupa pisang yang bernuansa hijau pula (maksudnya kulitnya masih berwarna hijau), kami mendengarkan penjelasan dari Bapak Inuci, seorang dosen yang menyukai sejarah, tentang sejarah masa Megalitikum, yaitu jaman batu besar yang dimulai pada tahun 5000 SM. Pak Inuci juga menyampaikan kesalahkaprahan tentang penamaan Situs Cibalay yang sering disebut Situs Arca Domas, padahal tidak ada laporan mengenai keberadaan sebuah arca di situs ini. Yang ada hanya punden berundak dan batu menhir atau dalam bahasa Sunda bernama Batu Tangtung (batu berdiri).


Sebagaimana kita ketahui, sebelum masuknya agama dan budaya Hindu-Budha yang berasal dari India ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar budaya, salah satunya dalam seni bangunan adalah adanya struktur punden berundak. Maka seni bangunan candi merupakan perwujudan akulturasi antara budaya lokal Indonesia dengan budaya India. Juga keberadaan bangunan suci di Indonesia yang didirikan di dekat air atau sungai. Sungai pada saat itu merupakan kawasan strategis, sehingga memudahkan akses bagi penduduk untuk bersosialisasi dengan dunia luar. Selain dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan dan di lembah. Juga penggunaan batu andesit, yaitu batuan beku vulkanik yang banyak di temukan di Indonesia karena kondisi Indonesia yang kaya akan gunung berapi. Ciri-ciri ini tentunya juga ada pada situs-situs yang kami kunjungi, yaitu terletak di lereng Gunung Salak dan berada di dekat sungai-sungai kecil.



Mudah-mudahan dengan adanya kegiatan napak tilas ini maka akan semakin banyak para pecinta maupun calon pencinta sejarah yang akan menelusuri jejak nenek moyang, karena seperti kata introduksi dari sang ketua suku, sejarah adalah cermin kehidupan masa lalu yang bisa kita jadikan pelajaran untuk menatap dan menata hidup kita di masa depan. Maka ingatlah selalu “jas merah”, jangan lupakan sejarah!13212784851294260540




Poto-poto hasil jepretan potograper jadi-jadian dan amatiran ada di sini
1t