Krakatau dan Proses Globalisasi

Bookmark and Share


Peradaban manusia mengambil pelbagai bentuk alam. Salah satunya bencana. Ibnu Rusy menyatakan bahwa peradaban manusia bisa dibentuk melalui sebuah bencana alam atau yang dibuat manusia, seperti perang. Dalam hal ini, peradaban manusia adalah alat pemenuh kebutuhan yang vital. Sejarah peradaban manusia sendiri banyak yang bergantung pada kondisi keberadaan bencana di suatu tempat. Pun halnya dengan proses globalisasi, proses bencana dapat membentuk suatu konektivitas yang amat luas ke pelbagai penjuru dunia yang membentuk proses globalisasi.



Sebagai contoh, kita ambil saja peristiwa meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (1883). Hal ini meluluh-lantahkan sistem pemerintahan dan ekonomi di Hindia Belanda pada masa Gubernur Jendral Frederik s’Jacob. Perlu diketahui, pada saat itu komunikasi jarak jauh sudah dikenal lewat telegram. Frederik s’Jacob pada saat Krakatau meletus pada 19 Mei 1883 memberikan laporan kepada pemerintah induk di Belanda, hal ini menimbulkan kegaduhan politik pada saat itu.


Kebijakan Frederik s’Jacob untuk memulihkan kondisi ekonomi di negara induk Belanda akibat perang kemerdekaan Belgia (1830) harus mendapat terpaan lagi dari bencana dahsyat di Krakatau. 36.000 orang tewas, angkutan transportasi baik laut maupun darat terhenti selama berbulan-bulan, akibat gangguan cuaca. Di sekitar Lampung, Bengkulu, Bandung hingga Cirebon terjadi gempa silih berganti (Loir, 1999: 80). Suara letusan terdengar hingga Australia, Filipina, Sri Lanka dan Pulau Rodriguez yang jaraknya 4.700 km dari Krakatau. Total debu volkanik dan piroklastik yang dimuntahkan oleh Krakatau sekitar 30 km3 menghasilkan indeks letusan (Volcanic Explosity Index) pada angka 6 yang berarti Sangat Besar.


Kerajaan Islam di Jawa lumpuh total, serta kehilangan vassal-vassal mereka. Di luar negeri, Perang Turki Ottoman dan Mesir terhenti selama berminggu-minggu akibat langit yang sangat gelap. Kemudian, perang di Pasifik, yaitu pertempuran antara Chili dan pasukan gabungan Peru dan Bolivia, yang terjadi dari tahun 1879 harus berhenti di tahun 1883. Krakatau membuat Bolivia terisolasi dari laut akibat gangguan cuaca. Chili mendapat teritori wilayah yang kaya mineral dari konflik ini, menggabungkan provinsi Tarapacá milik Peru dan provinsi Antofagasta milik Bolivia.



Setelah peristiwa Krakatau meletus Frederik s’Jacob diganti oleh gubernur bernama O-van Riees (1884). Banyak terjadi konflik di berbagai daerah terutama di Banten, Pekalongan, dan di Batavia sendiri. Kemiskinan merajalela, serta kebangkrutan ekonomi melanda tidak hanya Hindia-Belanda, tapi juga dunia. Bahkan Majalah Time edisi September 2010 menyebut Karakatau sebagai letusan gunung nomor dua paling dahsyat dan paling berpengaruh di dunia. Namun dari bencana itu, telah membuat proses globalisasi muncul. Mata dunia tertuju pada bumi nusantara, yang memiliki keeksotisan luar biasa dan menawan. Para peneliti serta turisme mulai berdatangan di tahun-tahun 1890-an, untuk menjamah bumi pertiwi.


Adalah sejarawan Lucien Febvre, yang menyatakan bahwa ada semacam hukum dalam relasi antara manusia dengan alam yang tak dapat dielakkan (Febvre, 1966:9). Manusia di dalam budayanya dan sepanjang sejarahnya, selalu dipengaruhi oleh lingkungan alamnya. Adaptasi manusia terhadap lingkungannya adalah demi peradabannya. Di dalam kehidupan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan alam di sekitarnya. Kita dapat belajar banyak dari globalisasi lewat letusan Krakatau.***


Sumber Rujukan


Cartwright, Frederick F. Disease and History. New York: Mentor. 1972.


Febvre, Lucien. A Geographical Introduction to History. London. 1966.

Loir, Chambert Henry dkk (ed). Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Dennys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1999.
Mahan, Alfred. The Influence of the Sea Power Upon History 1660-1783. London: Methuen. 1965.

Marwick, Arthur. The Nature of History, Second Edition. London: Macmillan Education Ltd.


Agung Wibowo