Konstruksi Budaya Patrialkal

Bookmark and Share


Persoalan ini saya temukan pada salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang merasa malu ketika mendapatkan anak perempuan hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu bila seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Dan bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena, bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu derajat seseorang akan sekelas/selevel ningrat atau bangsawan tersebut. Budaya pathrialkal ini yang menjadikan sebuah keyakinan teologis bahwa Tuhan, atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki seperti “HU”, “LAHU”, “AL -LAHU”, “HUWA” dan lain-lain. Maka tidak heran bila kita menemukan dalam beberapa ayat al-Qur`an, terutama dalam surat al-ikhlas ada term-term bahasa tersebut, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.

Fenomena di atas itulah yang bagi saya perlu dicermati, seandainya saudara-saudara kita tetap bersikukuh bahwa “baju” yang telah berumur seribu lima ratus tahun harus berlakukan di Indonesia. Sebab seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa hadirnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab. Karena kehadirannya merupakan respon terhadap “masalah-masalah” kemanusiaan yang terjadi saat itu, maka yang paling mungkin adalah mengambil “pesan-pesan” substantif yang terkandung di dalamnya. Artinya, kita harus memilah mana unsur-unsur lokalitas Arab abad enam-tujuh masehi dan mana pula yang benar-benar disebut “nilai dan ajaran” yang diturunkan dari Allah.

Persoalan yang berhubungan dengan al-Quran dan Ummat Islam adalah perbedaan tafsir yang mengakibatkan lahirnya beberapa sekte dalam Islam. Ada bebarapa sekte (firqah) yang memperdebatkan tentang tafsir perbuatan baik dan buruk manusia.

Pertama, sekte Jabariyah yang berpandangan bahwa segala sesuatu yang diperbuat manusia, terlepas apakah itu baik maupun jelek, adalah telah ditentukan di lauhmahfudz. Dalam hal ini, manusia ibarat wayang yang digerak-kendalikan sang dalang. Apapun tindakan dan perbuatan manusia, sesungguhnya bebas dari tanggung jawab pelakunya. Sebab yang paling bertanggung adalah yang menggerakkan atau mentakdirkannya begitu. Ada beberapa ayat al-Qur`an yang menjadi argumen mereka yaitu, …tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Qs. al-Hadid :22);…sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (Qs.at-Thariq : 3);…maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki….(Qs.Ibrahim : 4) dsb. Sekte kedua adalah Qadariyah. Kelompok ini berpendapat sebaliknya dengan pandangan Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa, manusia adalah yang bertanggung jawab atas segala tindakan maupun perbuatannya. Menurut mereka, karena Allah telah menurunkan aturan haq wa bathil yang terdapat dalam al-Qur`an, maka manusia bebas untuk menentukan sekaligus memilih dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan pilihannya itu. Jika ia berbuat jelek (bathil) atau tidak mengikuti perintah-perintah Allah maka neraka sebagai balasannya.

Begitu pun sebaliknya, jika ia berbuat baik (haq) atau menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah akan mendapatkan surga sebagai imbalannya. Ayat yang dijadikan argumen mereka yaitu, …sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri (Qs. ar-Ra`du : 11);…Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Qs. al-Ankabut : 40);…katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman,dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Qs. al-Kahfi : 41).

Persoalan itu berlanjut pada sekte-sekte selanjutnya. Salah satunya kelompok Asy`ariyah yang berpendapat, bahwa makna (hakikat) etika manusia sangat ditentukan Allah. Maksudnya, barangsiapa yang bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur`an, maka ia berakhlak. Adapun mereka yang tidak selaras dengannya adalah imoral atau tidak berakhlak. Pendapat ini berbeda dengan kelompok Mu`tazilah, yang menyatakan bahwa semua perintah Allah adalah benar adanya dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah Swt. Maksudnya, agama memang berperan dalam menyediakan tata-aturan (etika) dan menunjukkan bagaimana seharusnya kita memikirkan tugas-tugas kita; sedangkan “hakikat” dari tugas kita itu sesungguhnya ditentukan bukan dengan agama tetapi oleh pelaku etika itu sendiri. Maka menurut kelompok Mu`tazilah, Allah harus memberi pahala semua perbuatan baik; dan jika tidak memberi pahala, berarti Allah telah berbuat tidak adil.

Konsekuensinya, Allah Swt tidak punya pilihan lain kecuali mengganjar segala perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia. Pemahaman Mu`tazilah inilah yang kemudian dibantah balik kelompok Asy`ariyah, bahwa Allah mampu melakukan apa saja. Termasuk menyiksa dan memasukkan orang yang tidak berdosa (atau yang berbuat baik) ke neraka dan memberi pahala dan memasukkan mereka yang berdosa ke dalam surga. Ini bukan kezaliman. Karena semua tindakan yang dikehendaki Allah adalah adil menurut Allah dan Allah betul-betul Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Inilah kenyataan sejarah yang begitu kontroversial terjadi di antara para mutakallimun (teolog-agamawan) yang muncul sejak perang Siffin dan pasca arbitrase (tahkim) antara ahlul bayt (yang dipimpin Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunan dan kerabat Rasulullah Saw) dengan ahlul sunnah (yang pimpin Muawiyah Bin Abu Sufyan beserta mereka yang kembali pada ajaran jahiliyah) pada tahun 658 Masehi, di Adzrah, padang pasir Syiria. Dampaknya adalah perpecahan ukhuwah-Islamiyah yang terbagi dalam beberapa sekte seperti Khawarij, Sunni, Syi`ah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, Asyariyah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Ikhwanus Shafa, Murabithun, Muwahidun; sampai awal Abad Modern yang memunculkan gerakan tajdiyah (puritanisme) seperti Pan-Islamisme dan Wahabiyah di Timur Tengah, yang keduanya telah berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan gerakan Persatuan Islam/PERSIS, Muhammadiyah, Jamiatul Khoir, Syarekat Islam dan lain-lain; serta gerakan anti-puritanisme seperti Syiah Imamiyah di Iran dan Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia serta di kawasan-kawasan lainnya.

Ahmad Sahidin