Jejak Hindu di Masjid Tuha Indrapuri

Bookmark and Share


Dinding tembok setinggi hampir dua meter itu mulai mengelupas. Warna krem yang membalutnya juga telah menguning. Bentuknya serupa lingkar luar candi. Lumut menghiasi hampir seluruh tembok. Di atas tembok itu berdiri kekar sebuah bangunan berkonstruksi kayu.





Bentuknya khas dengan atap serupa payung bertingkat tiga. Di puncak atap terdapat sebuah mustaka berbentuk nenas. Masuk ke halamannya, ada sebuah kolam kecil yang biasa dipakai untuk membilas kaki.

Begitulah gambaran masjid Tuha Indrapuri. Letaknya tak jauh dari pasar Indrapuri Aceh Besar, atau sekitar 24 kilometer dari Banda Aceh. Dibangun di atas reruntuhan candi hindu, masjid itu juga menjadi saksi masuknya islam di Aceh.

"Dahulu Indrapuri adalah kawasan kerajaan hindu, benteng masjid ini juga merupakan satu kesatuan dengan benteng indrapatra di Ladong, dan benteng Indrapurwa di Lembadeuk Peukan Bada," kata Tengku Safi'i Zamzami, Imam masjid Indrapuri.

Menurut Tengku Safi'i, benteng itu dibangun oleh ratu keluarga kerajaan Harsha dari India, yang melarikan diri ke Aceh karena kalah perang di negerinya pada tahun 604 Masehi. Indrapuri sendiri berarti kota ratu. Selain benteng, bukti bekas kerajaan Hindu di Indrapuri juga bisa ditemukan dengan adanya pekuburan Hindu di desa Tanoh Abei dan sekitar pasar Indapuri.

Masuknya Islam di Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1607-1636, mengharuskan candi itu diruntuhkan. Sultan akhirnya membangun masjid diatas reruntuhan tempat beribadah umat hindu itu.

Tapi kata Tengku Safi'i, ada versi lain tentang berdirinya bangunan itu. Versi itu menyebutkan, benteng itu dibangun sejak abad 10 Masehi sebagai peninggalan kerajaan Poli/Puri yang kemudian disebut kerajaan Lamuri oleh bangsa Arab.

Sebelum masa Iskandar Muda, seorang penyiar Islam bernama Abdullah Kan’an yang bergelar Tengku Abdullah Lampeuneuen dari Peurelak, bersama Meurah Johan dari kerajaan Lingga mencoba mengajak raja beserta rakyat Kerajaan Lamuri untuk memeluk Islam.

Saat itu Kerajaan Lamuri sedang diserang gerombolan bajak laut dari negeri China. Kawanan bajak laut itu dipimpin seorang wanita cantik tapi bengis bernama Putroe Neng. Para lanun itu hendak menguasai kawasan kerajaan Lamuri yang stategis karena lautnya berada di jalur perdagangan sibuk.

Tengku Abdullah Lampeneuen dan Meurah Johan menawarkan bantuan untuk melawan kawanan rompak Putroe Neng. Perang pun tak dapat dielakan. Entah berapa ribu pasukan Lamuri tewas, meski akhirnya berkat bantuan kedua penyiar Islam itu kerajaan Lamuri berhasil mengusir gerombolan bajak laut itu.

Sebagai bentuk balas jasa terhadap Tengku Abdullah dan Meurah Johan, Raja Lamuri akhirnya memeluk agama islam. Dia juga memerintahkan rakyatnya meninggalkan hindu serta meruntuhkan tempat peribadatan mereka.

Setelah menjadi kerajaan Islam, oleh Tengku Abdullah Lampeuneuen,Raja Lamuri diberi gelar Sultan Alaidin Johansyah Dhilullah Fil’alam. "Candi-candi itu pun diruntuhkan dan kemudian dia tas retuntuhan candi itu dibangun lah masjid," kata Tengku Safi'i.

Barulah pada masa Sultan Iskandar Muda, Masjid Indrapuri itu kemudian dipugar lebih luas dengan ukuran 18,8 x 48,8 meter. Selain sebagai tempat ibadah, mesjid tersebut juga digunakan sebagai pusat pendidikan agama, politik dan ekonomi.

Kata Tengku Safi'i, masjid Indrapuri juga pernah digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam untuk beberapa bulan. Saat itu Ibukota kerajaan Aceh Darussalam di Kutaraja telah direbut Belanda. Belanda akhirnya juga merebut kawasan Indrapuri. Terpaksa kerajaan berpindah ke kawasan Keumala, Pidie.

Peristiwa besar lain yang juga tercatat di Masjid Indrapuri adalah saat penobatan Tuanku Muhammad Daud Syah sebagai Raja Kerajaan Darussalam, pada akhir tahun 1874 Masehi. Di tempat itu Tuanku Muhammad Daud Syah didaulat menjadi Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.

Meski mulai usang, namun bangunan masjid Indrapuri masih berdiri megah. 36 batang tiang penyangga atap masjid juga terlihat kokoh. Setiap waktu shalat tiba, puluhan jamaah memadati masjid ini.

Menurut Tengku Safi'i, bangunan masjid memang dipertahankan sebagaimana bentuk aslinya. Pemerintah malah melarang warga mengecat ulang tembok bekas candi itu. "Ditakutkan akan rusak kalau dicat kembali, jadi semua bentuk bangunan ini termasuk menara di sebelah kiri itu juga masih seperti bentuk semula," katanya.

Sebagai bekas candi, Masjid Indrapuri menjadi daya tarik wisatawan. Bahkan seorang warga Bali, yang berkunjung ke Masjid itu yakin di bawah masjid masih terdapat patung-patung peninggalan kerajaan hindu. “Dia malah bersujud di bawah tempat yang diperkirakannya masih terdapat patung hindu,” katanya.

Baru-baru ini masjid Indrapuri kembali dipugar. Selain atap sebelumnya berwarna hijauh kini dirubah dengan warna merah. Tiang penyangga masjid juga telah di cat kemabali. Lantai yang sebelumnya hanya dari semen, kini telah diganti marmer. Tapi lumut yang menempal di tembok bekas candi itu masih tetap dibiarkan.