Donggala, Kota Tua Tak Punya Cagar Budaya!

Bookmark and Share


DONGGALA, inilah kota tua yang tak punya cagar budaya yang mendapat pengakuan. Meskipun kenyataannya kalau mengacu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 maupun penggantinya yang terbaru UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, bila ditransformasikan dengan sejumlah tinggalan di Kota Donggala maka sebetulnya ada banyak. Cuma saja tidak mendapat respon hingga berangsur-angsur terbengkalai. Padahal salah satu visi pembangunan pemerintah menjadikan Donggala sebagai kota pariwisata dan budaya. Tetapi kenyataannya tak satu pun cagar budaya yang dikelola sebagai obyek wisata, sehingga wisatawan yang berkunjung hanya melihat tinggalan yang memprihatinkan.

Sebutan Donggala kota tua sangatlah tepat. Hingga kini di berbagai kawasan kota masih mudah ditemui bangunan-bangunan tua peninggalan puluhan tahun silam, terutama bekas usaha perdagangan berupa kantor-kantor perusahan nasional dan daerah serta bekas gudang kopra. Selain itu terdapat pula beberapa rumah tua tak berpenghuni sisa kejayaan Donggala ketika aktivitas pelabuhan belum dipindahkan ke Pantoloan.

Di antara bangunan-bangunan tua yang ada dapat diklasifikasikan sebagai cagar budaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 maupun UU Nomor 11 Tahun 2010. Dalam UU tersebut disebutkan benda buatan manusia yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dankebudayaan. Beberapa pemerhati budaya dan sejarawan di Donggala berpendapat kalau merujuk nilai sejarah penting dan kekhasan bangunan, maka di Kota Donggala itulah pewrlu penyelamatanb cagar budaya yang kemudian bias diakui sebagai situs budaya.

Menurut sejarawan Kota Donggala, Drs. Amiruddin Masri, M.Hum kalau tidak dari sekarang pemerintah Donggala bertindak cepat melakukan penyelamatan pelestarian situs sejarah dan budaya Kota Donggala, niscaya suatu saat akan habis terjual ataupun karena hancur. “Bagaimanan mungkin Donggala dikatakan kota pariwisata dan budaya kalau sarana obyek wisata berupa pengelolaan situs tidak ditangani sesuai yang diharapkan,” kata Amiruddin di Donggala.

Menurut Amiruddin dari hasil penelusurannya, di Kota Donggala ada beberapa situs sejarah dan budaya yang menarik dikembangkan untuk kemajuan pariwisata. Di antaranya, situs jalan berundak-undak peninggalan colonial di Gunung Bale yang menarik direkonstruksi kembali, mengingat kondisinya saat ini mulai rusak. Kata Amiruddin jalan bertingkat-tingkat di sekitar lokasi SMP Negeri 1 Donggala itu memiliki nilai sejarah penting, karena merupakan jalan yang dibuat zaman pemerintahan Afdeling Donggala, ketika bangunan kantor pemerintah Belanda berada di Gunung Bale.

Selain itu tak kalah pentingnya dilestarikan, yaitu Rumah Tua Donggala peninggalan abad ke 19 yang menjadi satu-satunya bangunan berarsitektur tradisional yang tersisa. Bangunan berbentuk rumah panggung tersebut terletak di sudut persimpangan Jalan Giliraja-Jalan Bioskop, Kelurahan Labuan Bajo-Boya ini merupakan rumah peninggalan saudagar Umar Haruna - Pua Sehang. Sehingga yang menempati rumah tersebut tinggal kerabat dan cucu Umar Haruna .

“Ini satu-satunya rumah paling tua yang tersisa sepanjang saya tinggal di Donggala. Dulu ada banyak bangunan yang sama, tetapi kemudian dibom jepang dan Permesta, sehingga banyak yang rusak, sehingga hanya rumah tua di Labuan bajo ini yang tersisa sampai sekarang,” ungkap Ambo Adar (81 tahun) seorang saksi sejarah.

Ambo Adar asal Mamuju, Sulawesi Barat tinggal di Donggala sejak tahun 1936, sehingga memahami betul bagaimana perkembangan sejarah Kota Donggala dari masa ke masa. Sementara itu Mahani Alatas sebagai penghuni rumah tua, mengaku sering didatangi tamu-tamu dari luar, terutama turis asing untuk melihat bangunan tua sambil memotret. “Bahkan pernah ada mahasiswa bermaksud melakukan penelitian tentang rumah ini, sebab selain dianggap antic juga punya sejarah panjang, sehingga selalu menarik perhatian orang yang baru datang berkunjung ke Donggala,” kata Mahani.

Situs sejarah Kota Donggala tak kalah pentingnya yaitu bekas bangunan Bioskop Megaria yang telah ada sejak awal dekade 1950-an. Beberapa sumber yang dimintai pendapatnya, menyebutkan Megaria merupakan bangunan bioskop pertama yang ada di wilayah Sulawesi Tengah, sehingga memiliki nilai sejarah sangat penting.

“Bahkan dari bangunan ini pula sejak lama bukan saja menjadi tempat pemutaran film, melainkan pernah pula menjadi tempat pertemuan para kader politik dan dari sini banyak lahir politisi,” kata Namrud Mado seorang politisi muda terkemuka di Kota Donggala.

Sejak lesunya perfilman pertengahan 1990-an, maka sejak itu pula bangunan Bioskop Megaria yang sahamnya dimiliki beberapa orang tersebut, kemudian beralih fungsi jadi tempat tenis lapangan. Beberapa kali kegiatan kesenian yang digelar aktivis teater juga pernah menggunakan bekas bioskop ini berupa pertunjukan tahun 2006 lalu. “Bangunan ini termasuk cagar budaya dan sejarah sangat penting perlu dipelihara pemerintah sebagai salah satu kekayaan yang pernah mewarnai perkembangan kota tua Donggala,” kata Amiruddin.

Kekhawatiran Amiruddin sebagai sejarawan sangatlah beralasan akan punahnya tinggalan-tinggalan sejarah di kota tua Donggala. Sebab salah satu bukti dua tahun silam, komplek pusat pergudangan kopra dari peninggalan colonial sudah beralih kepemilikan ke tangan seorang pengusaha. Bangunan berbentuk gelombang setengah lingkaran itu sebelum jatuh di tangan pengusaha, merupakan milik Pusat Koperasi Kopra Donggala (PKKD) Indonesia yang kantor pusatnya di jakarta, namun karena sudah tutup sehingga asetnya dijual.

Kepala Dinas Kebudayaam dan Pariwisata Kabupaten Donggala, Himran Sukara yang pernah dimintai pendapat soal perlunya cagar budaya, mengakui kalau pihaknya akan mengupayakan soal ini. Bahkan beberapa waktu lalu telah membicarakan dengan stafnya untuk mengunjungi Rumah Tua Donggala untuk survey kemungkinan bisa dibicarakan dengan ahli waris bangunan. Cuma saja rencana tersebut belum juga terlaksana. Bisa jadi bangunan cagar budaya terlanjur tergadai atau rusak baru dilaksanakan. Gerakan lambat Pemkab Donggala ini sangatlah disesali para pemerhati budaya.

(JAMRIN ABUBAKAR)