Namanya Puteri Kamaliah. Tapi orang Aceh memanggilnya dengan sebutan Putroe Phang. Permaisuri Sultan Iskandar Muda ini punya peranan penting dalam membuat aturan dan tata krama kehidupan masyarakat Aceh.
Adat bak Po Meureuhom // Hukum bak Syiah Kuala // Qanun bak Putroe Phang // Reusam bak Bentara
Rasanya, hampir tak ada orang Aceh yang tak mengenal semboyan itu: Adat berpegang pada Mahkota Alam, hukum (syariat) pada Syiah Kuala, Qanun pada Putroe Phang, dan Reusam pada laksamana.
Kalimat Qanun bak putroe Phang, konon muncul karena sang permaisuri cerdas dan bijaksana dalam memutuskan perkara dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Syahdan, Ada satu kasus menarik yang menunjukkan kebijaksanaan Putroe Phang. Suatu hari, ada kasus yang dihadapi pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan. Mereka diwarisi rumah dan sepetak sawah oleh orang tuanya. Si anak perempuan tidak terima ketika dia mendapat jatah sawah dan anak laki-laki memperoleh warisan rumah.
Anak perempuan itu lantas kembali memperkarakan kasus itu. Rupanya, kasus itu sampai pula ke telinga Putroe Phang. Oleh Putroe Phang, warisan itu dibalik. perempuan mendapat warisan rumah dan laki-laki diberi sawah. Alasannya, laki-laki yang tidak punya rumah bisa tidur di meunasah, hal yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Lagi pula, laki-laki punya tenaga untuk menggarap sawahnya.
Putusan itu diterima semua pihak, termasuk Sultan Iskandar Muda. Bahkan, hingga saat ini, di beberapa daerah di Aceh, tradisi memberi warisan rumah untuk perempuan masih dipelihara. Sampai-sampai orang Aceh menyebut 'Po rumoh' untuk istrinya. Artinya, sang empunya rumah.
Maka, sejak itulah, Putroe Pang menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah hukum dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun sering terlibat dalam penyusunan qanun atau peraturan kerajaan.
Berasal dari Kerajaan Pahang, Malaysia, Putroe Phang dinikahi Sultan Iskandar Muda ketika menaklukkan semenanjung Malaka pada abad ke-17, masa keemasan Kesultanan Aceh Darussalam.
Dari cerita yang beredar, Sultan Iskandar Muda meminang Putroe Phang melalui proses 'pertukaran permaisuri': Iskandar Muda menikahi Putroe Phang, dan Sultan Pahang Raja Abdullah menikahi permaisuri pertama Iskandar Muda, Puteri Sendi Ratna Indra. Hal itu dilakukan untuk menguatkan pengaruh penyebaran Islam sekaligus menyingkirkan imperialisme Barat di kawasan selat Malaka.
Perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Puteri Kamaliah dianugerahi dua anak: Meurah Pupok dan Puteri Sari Alam. Kelak, Sari Alam naik tahta menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani dengan gelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.
Selain berwatak tegas, Sultan Iskandar Muda rupanya pribadi yang romantis. Tak banyak literatur tentang ini. Tapi simaklah sepucuk surat balasannya kepada Ratu Inggris Elizabeth 1 seperti dikutip sejarawan Prancis Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Begini bunyinya: "Hambalah sang penguasa perkara negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam."
Sayangnya, kita tak menemukan surat-surat cinta Iskandar Muda untuk Putroe Phang. Namun, sebagai bukti cintanya kepada Putroe Phang, Sultan membangun Gunongan dan Pinto Khob sebagai tempat pemandian sekaligus bercengkrama untuk sang permaisuri. Taman ini terhubung dengan istana Darud Dunya (sekarang meuligoe gubernur).
Taman Putroe Phang dulunya satu kesatuan dengan Gunongan. Dalam kitab Bustanus Salatin yang ditulis ulama Nuruddin Ar-Raniry, taman itu disebut Taman Ghairah. Di tengah kolam, berdiri Pinto Khop yang artinya pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja.Menurut pengusaha emas Harun Keuchiek Leumiek, motif gerbang Pinto Khob-lah yang kini dijadikan motif perhiasan dengan nama Pinto Aceh.
Sayangnya, kini taman yang terletak di pusat kota Banda Aceh itu seperti terlantar. Sampah plastik bertebaran di dalam kolam. Ironis, mengingat sang permaisuri punya peranan penting dalam membuat tata krama kehidupan masyarakat Aceh.Mungkinkah Putroe Phang lupa membuat aturan menghargai tempat bersejarah? Ataukah kita yang tak mau menghargai?