Tahta Untuk Rakyat

Bookmark and Share


Sejarah adalah pancaran pengetahuan yang tidak akan purna untuk digali. Jejak peradaban manusia di masa lalu merupakan guru kearifan untuk menapaki hidup dengan welas asih dan bijaksana. Masa silam merupakan titik pijak keberadaan kita di masa kini yang tidak lain menjadi awal perjalanan ke masa depan. Maka sangat tepat ungkapan Sang Proklamator Bung Karno agar kita jangan sekali-kali melupakan sejarah.


RAJA YANG MANUSIA BIASA, RAJA YANG SEJATI

Sejarah adalah pancaran pengetahuan yang tidak akan purna untuk digali. Jejak peradaban manusia di masa lalu merupakan guru kearifan untuk menapaki hidup dengan welas asih dan bijaksana. Masa silam merupakan titik pijak keberadaan kita di masa kini yang tidak lain menjadi awal perjalanan ke masa depan. Maka sangat tepat ungkapan Sang Proklamator Bung Karno agar kita jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Adalah kelemahan kepemimpinan Sinuhun Paku Buwono II yang berhutang budi kepada VOC, sehingga menyerahkan sebagian besar wilayah Mataram di pesisiran dan mancanegara, yang menyebabkan Mangkubumi melakukan perlawanan. Akhirnya ditandatanganilah perjanjian Giyanti sebagai tonggak palihan negara yang kemudian melahirkan Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat. Semenjak itulah kekuasaan seorang sunan maupun sultan secara de jure tidak lagi kedaulatannya, bahkan pemerintah Hindia Belandalah yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan mengukuhkan seorang raja melalui sebuah perjanjian kontrak politik yang mengikat.

Demikianlah sebuah prolog yang cukup panjang mengawali buku Tahta Untuk Rakyat. Buku ini sesungguhnya merupakan kisah perjalanan seorang Gusti Raden Mas Dorodjatun yang kemudian dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom Hamengku Negoro Sudibya Raja Putra Narendra Mataram dan dikukuhkan di dampar keprabon menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.

Pangeran yang lahir di hari Sabtu Pahing, 12 April 1912 ini semenjak usia taman kanak-kanak dititipkan indekos pada sebuah keluarga Belanda. Dari keluarga inilah ia mendapatkan sebutan Henki karena kesejajarannya dengan Pangeran Hendrick dari Belanda. Bukan tanpa maksud apa-apa kenapa ia dititipkan kepada seorang Belanda, kebijaksanaan Ngarsa Dalem HB VIII menginginkan agar sang putra mahkota kelak di kemudian hari dapat menyelami kehidupan rakyat biasa dan sekaligus memiliki pengetahuan yang dalam tentang seluk-beluk kebelandaan. Inilah penerapan prinsip falsafah tunggak jarak prajak, tunggak jati mati!

Jarak adalah tanaman pagar yang dilihat dari sisi kualitas kayunya tidak berarti, sehingga ia menyimbolkan derajat kawula biasa alias rakyat jelata. Sedangkan jati adalah jenis kayu yang memiliki kualitas kelas wahid sehingga kuat dan mahal harganya. Jati menyimbolkan ketinggian derajat seseorang karena pangkat, jabatan, maupun harta kekayaannya. Tunggak adalah sempalan atau potongan dahan sebuah pohon. Tunggak jarak apabila ditancapkan ke dalam tanah maka ia akan menjadi induk tanaman jarak yang baru, akan tetapi tunggak jati yang ditancapkan tidak akan pernah dapat tumbuh.

Falsafah ini mengisyaratkan bahwa seseorang yang berasal dari sebuah keluarga kaya dan tinggi pangkatnya apabila tidak dididik secara benar dan terlena dengan kekayaan orang tuanya, maka kelak di kemudian hari ia tidak akan dapat meneruskan trah keluhuran orang tuanya. Sebaliknya seorang kawula alit yang mendidik anaknya dalam lingkungan kehidupan yang sederhana dan apa adanya, namun memegang teguh jati diri kemanusiaanya akan menghasilkan generasi penerus yang berkualitas dan meraih derajat yang lebih tinggi.

GRM Dorodjatun menjalani pendidikan di Eerste Europese Lagere School B dan Neutrale Europese Lagere School di Yogyakarta, kemudian HBS di Semarang dan Bandung, untuk selanjutnya meneruskan studi di Gymnasium Harllem dan Rijkuniversitet Leiden Belanda. Di tengah pecahnya Perang Dunia II, pada masa akhir studi doktoral indologinya, Dorodjatun mendapat panggilan untuk kembali ke tanah air dari ayahandanya. Sampai di Jakarta, pada suatu malam di sebuah penginapan, ayahandanya mewariskan pusaka keris Kyai Jaka Piturun sebagai simbol dialah yang dikehendaki menjadi putra mahkota dan kelak akan mewarisi tahta.

Dalam perjalanan kereta menuju Yogyakarta, sang ayahanda kambuh sakitnya dan mengalami kondisi kritis. Sesampainya di Yogyakarta ia langsung mendapatkan perawatan di rumah sakit. Namun takdir ternyata menghendaki Ngarsa Dalem HB VIII dipanggil menghadap Tuhan Sang Sangkan Paraning Dumadi. Dorodjatun yang masih sangat muda, 28 tahun, tentu saja sangat terpukul dan mau tidak mau harus siap memanggul beban berat untuk melanjutkan tahta dari trah Mataram. Kejadian ini terjadi di penggalan akhir tahun 1939.

Adalah sebuah ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda bahwa seorang sultan yang akan naik tahta harus memperbaharui kontrak politik. Maka dimulailah sebuah perundingan untuk merumuskan isi kontrak yang baru antara GRM Dorodjatun dan Gubernur Yogyakarta Lucian Adam. Lucian Adam adalah seorang politisi tulen berusia menjelang 60-an. Pengalaman karir di militer dan kepemerintahan menjadikannya mumpuni dan sangat menguasai lika-liku kelicikan lobi tingkat tinggi. Namun Dorodjatun, Sang Putra Mahkota adalah pribadi yang sedari kecil telah mengerti seluk-beluk sifat dan sikap orang Belanda, ditambah lagi ia jebolan fakultas indologi yang sangat intensif melakukan praktik-praktik debat serta adu argumentasi. Oleh karena itu perundingan dalam merumuskan kontrak baru menjadi berlarut-larut dan tidak selesai hingga kurun waktu Maret 1940.

Hanya oleh sebuah bisikan gaib di keremangan senja yang mengatakan agar Dorodjatun meneken kontrak dan tidak usah bimbang berpikir panjang karena Belanda tak lama lagi akan hengkang dari Nusantara, maka Dorodjatun menanda-tangani draf kontrak tanpa melihat dan membaca apa isi kontrak tersebut. Maka pada 18 Maret 1940 GRM Dorodjatun dikukuhkan naik singgasana menggantikan ayahandanya sebagai Sultan Hamengku Buwono IX.

Perang Pasifik atau Asia Timur Raya segera meletus dan Jepang berhasil menguasai Nusantara. Masa penjajahan Jepang adalah masa penderitaan yang sangat menyengsarakan rakyat karena semua hasil bumi dirampas penjajah untuk keperluan perang. Dalam membela nasib kawula Ngayojakarta Hadiningrat, HB IX menyiasati dengan memberikan data-data statistik seperti jumlah penduduk, luas sawah, jumlah hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan hasil bumi lainnya dengan data yang tidak akurat. Bahkan Sultan memberikan keterangan bahwa sebagian besar wilayahnya adalah daerah rawa-rawa yang tidak subur dan sebagian yang lain merupakan tanah tandus yang tidak cocok untuk pertanian. Laporan ini dijadikan alasan untuk meminta dana guna pembangunan sebuah selokan yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak untuk mengairi sawah di sepanjang wilayah Kasultanan. Selain mendapatkan manfaat irigasi, pembangunan saluran air ini sekaligus untuk mengalihkan kewajiban kawulo Ngayojakarta dari romusha sebagaimana diterapkan di wilayah lain.

Sebagaimana diyakini bangsa Jawa melalui ramalan Jayabaya, bangsa Jepang hanya menjajah Nusantara dalam hitungan seumur jagung alias tiga setengah tahun. Momentum inilah yang menghantarkan bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Dua hari berselang, Sri Sultan HB IX mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta dan menyatakan diri mendukung kemerdekaan RI. Memperkuat dukungan itu, pada 5 September 1945 HB IX mengeluarkan amanat bahwa Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat menjadi bagian dari Republik Indonesia dan menjadi sebuah daerah istimewa yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Amanat yang sama dikeluarkan juga oleh KGPAA Paku Alam VIII sebagai penguasa Puro Pakualaman. Inilah babak baru pengabdian HB IX dalam kancah perjuangan nasional.

Belum genap satu tahun usia kemerdekaan, Belanda melancarkan agresi militernya dan menduduki ibukota Jakarta. Dengan tangan terbuka, HB IX menawarkan diri agar ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Maka mengungsilah pemerintah dan seluruh kelengkapannya ke kota perjuangan Yogyakarta. Tidak hanya terhenti di situ, HB IX bahkan tak segan-segan mengelurkan dana pribadi kraton untuk menggaji para menteri dan pegawai pemerintah agar pemerintahan RI tetap tegak dan tidak terjadi penyeberangan ke pihak Belanda. Inilah jejak keistimewaan Yogyakarta yang memangku dan menyuapi saudara mudanya, Republik Indonesia, yang entah seperti apa nasibnya bila HB IX tidak melakukan pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa pada waktu itu.

Kisah selanjutnya mengalir mulai dari aksi Serangan Umum 1 Maret 1949, penyerahan kedaulatan dan pembentukan RIS, masa demokrasi terpimpin, orde lama, hingga kiprah Sultan HB IX di masa orde baru sebagai Wakil Presiden RI. Buku ini merupakan rujukan luar biasa bagaimana seorang yang memiliki derajat trah ningrat yang tinggi namun tidak lepas dari sikap dan sifat kesederhanaan hidup serta pengorbanannya yang luar biasa bagi hidup dan kemanusiaan. Dia sosok yang senantiasa menempatkan kepentingan orang lain, bangsa, dan negaranya di atas kepentingan pribadinya. Dialah sosok raja yang mempersembahkan tahtanya untuk rakyat yang sangat dicintainya. Dialah seorang raja yang mampu utuh menjadi manusia sejati dengan sikap
adiluhung
andhap asor-nya. Dialah yang bergelar dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin P
Ngisor Blimbing, 11 Desember 2011
Sang Nanang