Sultan Alaiddin Mahmud Syah dan Doktrin Perjuangannya ( part 1)

Bookmark and Share


Sultan Alaiddin Mahmud Syah dan Doktrin Perjuangannya

Menyambut Jeda Kemanusiaan)

Sulthan Ibrahim Mansyur Syah Mangkat

Berhubung kematian itu, sesuatu yang pasti akan terjadi dan tidak dapat dihindari oleh siapapun, maka kanun Meukuta Alam telah menetapkan prosedur tetap pemakaman mayat seorang Sulthan dan terkait dengan penunjukan Sulthan sementara yang kemudian telah merupakan ketentuan Adat Istiadat Aceh yaitu : “mate Raja, meungantoe Raja atau Raja mate Raja tanom.” Adat Aceh telah menetapkan, kalau raja mati harus diganti oleh raja atau mengkebumikan seorang Raja harus dilakukan oleh Raja, tidak cukup oleh pejabat lain, walau Perdana Menteri sekalipun.

Sesuai dengan ketentuan hukum adat bahwa jikalau Sulthan Aceh meninggal dunia, maka sebelum mayatnya dikebumikan pada perkuburan raja-raja, kabinetnya mengadakan rapat kilat untuk menetapkan siapakah yang patut ditunjuk sebagai pengganti sementara dari Almarhum Sulthan. Sesudah dimusyawarahkan diadakan litsus sepintas lalu terhadap calon-calon yang akan ditunjuk, lazimnya dalam penunjukan ini prioritas diberikan kepada putera tertua dari Almarhum Sulthan dan atau keluarga yang terdekat yang tidak cedera (cacat fisik dan mental) dan memenuhi syarat-syarat lain sekadarnya.

Pada saat Sulthan Alaiddin Muhammad Daudsyah I, mangkat pada tahun 1838. Sesuai dengan ketentuan Adat Istiadat Meukuta Alam dalam hal pemakaman seorang raja, maka untuk pemakaman mayat Sulthan Muhammad Daudsyah telah ditunjuk Tuanku Sulaiman Bin Tuanku Muhammad Daud, sebagai Sulthan sementara. Kemudian Sulthan sementara ini ditetapkan menjadi Sulthan tetap, dengan gelar Sulthan Ali Iskandar Syah. Penetapan Tuanku Sulaiman menjadi Raja ditolak oleh Panglima Sagi 22 Mukim. Baru kira-kira 3 bulan memerintah terjadilah pemberontakan yang digerakkan oleh Teuku Panglima Cut Amat, Panglima Sagi 22 Mukim. Perang saudara tidak terhindarkan, korban berjatuhan di kedua pihak, kemudian Sulthan Ali Iskandar Syah dikalahkan dan turun tahta dan kemudian menyingkir ke Lampageue, VI Mukim, Peukan Bada. Akhirnya Tuanku Ibrahim, saudara kandung dari Sulthan Muhammad Daud Syah ditabalkan menjadi Sulthan, dengan gelar Sulthan Ibrahim Mansur Syah.

Anggota kabinet yang bertanggung jawab dalam proses pemilihan calon Sulthan sementara, terdiri dari Perdana Menteri (Wazir Utama) dan beberapa orang Menteri (Wazir) yang disebut juga sebagai Uleebalang Po Teu (Uleebalang Sulthan yang tidak memegang daerah), Tengku Qadli Malikul Adil, Teuku Keureukon katibul Lamteungoh; Teuku Panglima Dalam; Teuku Rama Seutia, penasehat hukum dan adat; Teuku panglima Meuseugit Raya; Teuku Imum Luengbata; Teuku Nek Meuraksa dan lain-lain. Sulthan sementara mengembang tugas khusus yaitu memimpin upacara pemakaman mayat Sulthan yang meninggal dan acara-acara lain yang terkait.

Pada saat Sulthan Ibrahim Mansur Syah pada tahun 1871 mangkat, putera mahkota Tuanku Zainal Abidin, juga meninggal dunia pada waktu bersamaan. Putera Tuanku Zainal Abidin atau cucu dari Sulthan Ibrahim Mansur Syah, yaitu Tuanku Muhammad Daud masih amat kecil, kurang lebih baru berumur 3 – 5 tahun, karenanya para pembesar kerajaan bermusyawarah dengan amat mendalam, mempertimbangkan segala sesuatu untuk menghindari terjadinya perang saudara yang terjadi menjelang Tuanku Ibrahim naik tahta. Musyawarah telah berhasil dengan baik dan menghasilkan suatu kesepakatan untuk memilih Tuanku Mahmud, cucu dari Sulthan Muhammad Daud Syah I menjadi calon tunggal Sulthan tetap. Setelah Sulthan pengganti sementara terpilih barulah dilakukan persiapan-persiapan untuk terselenggaranya upacara pemakaman. Peti mati yang disebut Keureundaraja dipersiapkan.

Pemberitahuan tentang wafatnya Sulthan untuk seluruh negeri dan daerah takluknya dilakukan dan tugas ini dipertanggungjawabkan kepada T. Rama Seutiya dan atau pembesar-pembesar negeri lainnya. Uleebalang-uleebalang yang berdekatan bersama dengan pembesar-pembesarnya datang ta’ziah ke kraton Darud dunia, banda Aceh adalah penanggung jawab tertinggi dalam upacara pengebumian jenazah almarhum Sulthan Ibrahim mansur Syah. Panglima Sagoe, Uleebalang-uleebalang dan pembesar-pembesar negeri lainnya memberikan bantuan sepenuhnya, sehingga penguburan itu berjalan sebagaimana wajarnya. Urusan yang menyangkut dengan penguburan, kenduri, pengajian, dan sebagainya dapat dikatakan serupa dengan seorang warga bangsa Aceh lainnya. Pembagian harta pusaka milik pribadinya pun dilakukan menurut hukum dan adat dalam kerajaan Aceh Darussalam. Rumah tempat tinggal Sulthan tetap untuk tempat kediaman Sulthan yang menggantikannya.


Protap Pentabalan Sulthan

Biasanya setelah 44 hari masa berkabung, barulah oleh Perdana Menteri mulai difikirkan untuk mengadakan Sulthan tetap, pengganti yang sudah meninggal dunia. Perdana Menteri menetapkan kapan permusyawaratan untuk itu harus diadakan di Banda Aceh. Dan setelah diadakan persiapan-persiapannya, maka diundanglah para pembesar kerajaan antara lain : Panglima Sagoe XXII Mukim, Panglima Sagoe XXVI Mukim, Panglima Sagoe XXV Mukim, Uleebalang Meseugit Raya, Uleebalang Meuraksa, Nek Rajamuda Setia, Keujruen-keujruen Chik seluruh Aceh dengan satu atau dua orang pembesarnya. Semua pembesar di kraton, Panglima-panglima Sulthan, seperti Teuku Aneuek Batee dan orang-orang lain yang dirasa perlu.

Pembesar Negeri yang berkepentingan, pada hari yang telah ditetapkan duduk bersidang pada tempat yang telah ditetapkan untuk masing-masing peserta sesuai dengan protokol kerajaan. Mereka bermusyawarah panjang lebar tentang pengganti Sulthan yang telah meninggal dengan Sulthan yang defenitif. Pengganti sementara menjadi calon pertama. Jika tidak ada terdapat cacat pada tubuhnyam seperti tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, pincang dan sebagainya, pemeriksaan dapat diteruskan untuk mengetahui sifat-sifat yang menyangkut kepribadian, mental spiritual. Bangsa Aceh mensyaratkan Sulthannya sesempurna mungkin, taat menjalankan ibadah, mengerti Hukum Islam dan Adat Istiadat Aceh. Ia harus pandai berbicara bukan saja dalam bahasa Aceh, tetapi juga dalam bahasa persatuan yaitu bahasa “Melayu Jawoe” dan bahasa Arab. Umurnya harus telah dewasa dan akhlaknya harus baik.

Pembicaraan dan pertimbangan dilangsungkan dengan mendalam sekali, tentang diri Tuanku Mahmud. Penasehat-penasehat Sulthan membentangkan misi dan visi masing-masing. Semuanya berusaha supaya jangan terjadi perang saudara lagi. Musyawarah telah bulat mufakat memilih Tuanku Mahmud tersebut menjadi calon tunggal Sulthan Aceh. Semua pembesar-pembesar Aceh yang memegang daerah atau tidak, bertanggung jawab atas keputusan Musyawarah Besar itu, tanggal pelantikan telah ditetapkan, pembesar-pembesar Negeri, kembali dahulu ke negerinya masing-masing untuk mensosialisasikan keputusan Majelis kepada rakyatnya sehingga mereka tenteram. Mereka kembali ke Banda Aceh tepat pada waktu yang telah ditetapkan.

Dalam pada itu panitia persiapan pentabalan Sulthan Aceh terus mempersiapkan segala sesuatu, undangan untuk negara-negara sahabat dikirimkan. Pembesar-pembesar negeri yang telah pulang ke negerinya masing-masing kembali ke Banda Aceh untuk menghadiri upacara peresmian pentabalan Sulthan. Orangnya telah terpilih yaitu Tuanku Mahmud Ibnu Tuanku Sulaiman. Tuanku Mahmud masih muda remaja, beliau memiliki syarat-syarat untuk menjadi kepala negara (Sulthan) Kerajaan Aceh Darussalam menggantikan Sulthan Ibrahim Mansur Syah yang telah digelari “Po teu meureuhom baaro”, sesuai dengan Kanun Meukuta Alam.
Bersambung

T. Abdullah Ben Peukan Tangse