Sultan Alaiddin Mahmud Syah dan Doktrin Perjuangannya ( part 3)

Bookmark and Share


Pembentukan dan Sumpah Kabinet Perang

Setelah Sulthan Alaiddin Mahmudsyah menerima laporan pasti dari Balai Siasat Kerajaan bahwa Belanda sudah dapat dipastikan akan menyerang Aceh, maka Sulthan segera mengantisipasinya dengan mengadakan reshuffle kabinet dengan membentuk “Kabinet Perang”, yang inti dari kabinet perang ini terdiri dari tiga orang Menteri saja. Sementara Sulthan sendiri tetap sebagai Kepala Negara, Perdana Menteri. Adapun ketiga orang menteri inti itu adalah :

1. Tuanku Hasyim Banta Muda Kadir Syah, sebagai Wazirul Harb (Menteri Peperangan), merangkap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang, dengan Pangkat Jenderal Tentara Kerajaan Aceh;

2. Tuanku mahmud Banta Kecil Kadir Syah, sebagai Wazirul Mizan, Waziruld dakhiliah Wazirud Kharijiah (Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri ), merangkap wakil Kepala Pemerintahan;

3. Said Abdullah Teungku Di Meulek, sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Negara) merangkap wakil Panglima Besar Angkatan Perang dengan Pangkat Letnan Jenderal Tentara Aceh.

Setelah Sulthan melantik Kabinet Perang pada tanggal 1 Muharram 1290 H (1873 M), maka ketiga Menteri itu diambil sumpahnya dalam Mesjid Istana Baiturrahman, dimana upacara pengambilan sumpah dipimpin oleh Qadli Mu;adhdham Syeh Marhaban bin Haji Saleh Lambhuk, yang isi sumpahnya sebagai berikut : “Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang, sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Belanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru. Maka barang siapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda, maka keatasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing.”

Setelah selesai pengambilan sumpah, maka Kabinet Perang terus mengeluarkan Perintah Hariannya yang pertama, yang ditujukan kepada semua para Hulubalang dan Rakyat Aceh seluruhnya, yang disampaikan oelh Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Kerajaan Aceh, Said Abdullah Teungku Di Meulek. Perintah Harian yang berjudul “Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Aceh Melawan Holanda”, yang merupakan Doktrin Perjuangan Sulthan Aliaddin Mahmudsyah bertanggal 1 Muharram tahun 1290 H (1873 M), selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Bismillahirrahmanirrahim

“Bahwa hamba memberi nasehat kepada sekalian tuan-tuan atas nama keputusan Kerajaan Aceh beserta ahliwaris kerajaan, dengan alim ulama dan rakyat Aceh khususnya dan rakyat bawah angin (wilayah Indonesia sekarang ..pen) umumnya. Wahai tuan-tuan sekalian, hamba memberi perintah hari ini, bahwa sekalian tuan-tuan kita semuanya, bersiap-siap dengan apa senjata saja yang ada pada kita masing-masing, karena kita semuanya akan menghadap bahaya maut, yaitu dua perkara : Pertama menang : kedua syahid; ketiga tidak sekali-kali, yaitu menyerah kalah kepada Holanda. Ingatlah tuan-tuan disini hamba beri pernyataan dengan sahih sah muktamad, bahwa bangsa Holanda sudah dua ratus tahun lima puluh tahun menjajah negeri bawah angin di luar kita Aceh. Maka sekarang kita bersama-sama mempertahankan negeri kita Aceh. Sejengkal tanah negeri Aceh jangan kita berikan kepada musuh kita bersama, yaitu Holanda.

Maka barang siapa yang menyerah kepada Holanda dengan sebab tidak ada masyakkah, maka Holandalah ia. Maka orang yang demikian itu telah menjadi musuh Allah, musuh Rasul, Musuh Negeri, dan musuh Kerajaan. Maka tiap-tiap musuh seperti yang hamba sebut itu walau siapa-siapa, berhak kita bunuh sidurhaka itu, jangan kita sayang pada sibangsat itu, negeri kita Aceh alamat binasa, sengsara, huru hara.

Bersatulah kita semuanya melawan Holanda, bangsa barat yang hendak merebut negeri kita Aceh. Jangan tuan-tuan ngeri dan takut, kita orang Islam wajib berperang melawan musuh dengan apa senjata yang ada pada kita masing-masing. Maka barang siapa yang tuan-tuan dan hulubalang-hulubalang memihak berdiri kepada Holanda dengan sengaja, yaitu tidak ada masyakkah, maka Insya Allah Ta’ala akan datang pada satu zaman yang kebili-kebilui, anak cucu tuan-tuan muntah darah dan dimandikan dengan darah oleh rakyat sendiri masing-masing walau besar walau kecil.

Ingatlah wahai sekalian tuan-tuan, Hulubalang yang khadam negeri. Mulai dahulu sampai sekarang hingga akan datang, bahwa tiap-tiap orang ada jabatan mengurus negeri dan mengurus rakyat, yaitu memelihara rakyat dengan menyuruh makruf dan mencegah mungkir, dan sekalian rakyat jangan tuan-tuan perbudakkan dan sekalian rakyat bukan buat tuan-tuan Hulubalang; tetapi tuan-tuan yang hulubalang semuanya timur barat, tunong baroh, buat rakyat, yaitu menjaga, mengurus dengan sempurna, supaya rakyat cinta kasih lahir batin pada sekalian tuan.

Wahai sekalian tuan-tuan, bahwa rakyat itu seperti air sungai yang sangat luas lagi dalam, dan pucuknya dalam rimba, gunung yang bercabang-cabang. Jika satu kali turun hujan besar, semua turun air ke dalam sungai, maka jadi banjirlah mengamuk air ke mana-mana, maka binasalah sekalian tanam-tanaman, apa-apa yang ada semuanya sudah tenggelam dengan air”

(Foto copy dari Naskah ini tersimpan dalam Perpustakaan Prof. Ali Hasjmy Banda Aceh)

Doktrin Perjuangan Sulthan Alaiddin Mahmudsyah, yang memerintah kerajaan Aceh Darussalam dan daerah Takluknya dari tahun 1871 – 1874 adalah : Mempertahankan Wilayah Aceh dari serangan Holanda (Belanda) dan mengusir penjajah Belanda dari bumi bawah angin. (bumi bawah angin adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menyebut Wilayah Nusantara, yang sama dengan wilayah Indonesia sekarang minus Aceh ..pen)

Dalam perjuangan mempertahankan wilayah Aceh dan mengusir penjajah dari Wilayah Nusantara, bangsa Aceh telah bertekat hanya ada dua pilihan yaitu : Memperoleh Kemenangan atau Mati Syahid, tidak ada istilah menyerah kepada Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya. Jadi Negara Republik Indonesia yang sekarang ini adalah hasil perjuangan bangsa Aceh dulu dan harus tetap dipertahankan sebagai hak milik rakyat Aceh. Setidak-tidaknya rakyat Aceh yang telah diakui oleh sdr,. Amin Rais, adalah Pemegang Saham Utama dengan demikian rakyat Aceh mempunyai hak yang lebih dari warga bangsa yang lain di wilayah Nusantara ini. Rakyat Aceh yang patriotic tidak boleh lari dari tanggung jawab dan harus berjuang merebut kepemimpinan Negara Republik Indonesia dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, secara damai tanpa pertumpahan darah.

Namun demikian semua warga Aceh harus introspeksi : Apakah pertumpahan darah yang tidak pernah berhenti di bumi Aceh ini, karena Allah telah mengabulkan permohonan dari Indatu bangsa Aceh dahulu yang diucapkan dalam sumpahnya pada saat sesuai Sulthan Alaiddin Mahmudsyah mengucapkan Pernyataan Perang kepada Belanda pada tahun 1873, yaitu

“Maka jika semuanya kami yang telah bersumpah ini, berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikrar dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semuanya dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semuanya turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh alat senjata mana-mana berupa apa sekalipun”. Jawabannya adalah wallahu Alam Bissawab


Sulthan Alaiddin Mahmudsyah Mangkat



Pada tanggal 24 Januari 1874, Belanda menduduki Kraton Kesultanan Aceh yang telah dikosongkan, namun demikian, ajal tidak dapat ditolak, Sulthan Mahmudsyah pada tanggal 29 Januari 1874, mangkat di Pagar Ayer, terlilit penyakit Cholera, dan dikebumikan di Cot Bada. Sulthan Mahmaudsyah mangkat saebagai akibat dari serangan senjata pembunuh yang amat kejam yaitu Senjata Biologi,”Kuman Penyakit Cholera” yang dengan sengaja dibawah oleh Belanda dari Betawi melalui media orang-orang tahanan.

Tuanku Muhammad Daud, putera Tuanku Zainal Abidin, cucu dari Sulthan Ibrahim Mansursyah yang masih anak-anak, sesuai dengan Kanun Meukuta Alam diangkat menjadi pejabat Sulthan sementara untuk penyelenggaraan upacara pemakaman jenazah almarhum Sulthan. Pemerintahan dijalankan oleh Dewan Mangkubumi, yang diketuai oleh Tuanku Hasyim. Jenazah Sulthan Mahmaud Syah dikebumikan di Cot Bada Aceh Besar, dengan suatu upacara yang amat sederhana, karena situasi dalam keadaan perang. Pada tahun 1876 Tuanku Muhammad daud ditabalkan menjadi Sulthan Aceh dengan gelas Sulthan Alaiddin Muhammad daudsyah. Tetapi karena Sulthan belum dewasa, maka untuk memimpin pemerintahan sehari-haari tetap dijalankan Dewan mangkubumi. Setelah Istana Kesultanan Aceh resmi dipindahkan ke Keumala Dalam di Luhak Pidie, pada tahun 1883, dimana Sulthan dianggap sudah dewasa, maka pemerintahan dikendalikan langsung oleh Sulthan Alaiddin Muhammad Daudsyah.

Bersambung
Teuku Abdullah Ben Peukan