Sultan Alaiddin Mahmud Syah dan Doktrin Perjuangannya ( part 4) Habis

Bookmark and Share


Tgk. Chik Di Tiro Wazir Sulthan

Teuku Chik Muhammad Saman Di Tiro, yang sejak pecah perang dengan Belanda pada tahun 1873, telah terjun aktif di medan tempur di Aceh Besar ndan juga di Pidie pada saat Belanda menyerang Pidie dan menduduki benteng Kuata Asan di Pidie, Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Saman memegang peranan penting. Kemudian pada tahun 1883, Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman diangkat menjadi wazir Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam, urusan Perang Sabil. Tgk. Chik Di Tiro lah satu-satunya Menteri yang dijabat oleh orang dari daerah takluknya (Pidie). Selama 400 tahun Kerajaan Aceh berdiri. Setelah Tgk. Di Tiro Muhammad Saman meninggal dunia pada tahun 1891. Pemimpin Perang Sabil dengan persetujuan Sulthan dipegang oleh “Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Amin” dan setelah Tgk. Di Tiro Muhammad Amin Syahid di Aneuk galong pada tahun 1896, pucuk pimpinan Perang Sabil di pegang oleh Tgk. Chik Di Tiro Mahidin yang terus bergrilya dipegunungan sekitar Tangse.



Tgk. Chik Di Tiro Pemegang Kuasa Kesulthanan Aceh





Pada saat Sulthan Muhammad Daudsyah, terpaksa menyerahkan diri, pimpinan Kesulthanan Aceh dipercayakan kepada Panglima Polim dan Teungku Chik Di Tiro Mahidin, kemudian setelah Teuku Panglima Polim terpaksa menyerahkan diri pula seperti kasus yang dialami oleh Sulthan, karena di sandera keluarganya, kekuasaan pengendalian Kesulthanan Aceh dalam perjuangan, berada dalam tangan Tgk. Di Tiro Mahidin. Kekuasaan tersebut dipegangnya sampai beliau syahid pada tahun 1910 di Gunung Halimun tangse. Mayat Tgk. Chik Di Tiro Mahidin dikebumikan di komplek pemakaman keluarga besar Teuku Itam Tangse yang terletak di komplek Mesjid I Tangse.

Teuku Itam Bin Teuku Keumala Tahe juga seorang pejuang dan pendukung perjuangan kaum muslimin dibawah pimpinan Tgk. Chik Di Tiro Mahidin, dengan mengorganisir gerakan para pemuda dan Memfasilitasi pembacaan Hikayat Perang Sabil dirumahnya di Ujong Baroh Pulo Mesjid Tangse. Salah seorang Letnan Belanda ditikam mati depan rumahny oleh seorang pemuda Muslimin, pemuda binaan Teuku Itam . Teuku Itam ditangkap dan dibuang ke Betawi pada tahu 1915. Meskipun telah menyelesaikan masa tahanan selama 10 tahun, namun tidak diperkenankan pulang ke Aceh. Pada tahun 1939 Teuku Itam pulang menjenguk keluarga di Tangse, hanya 3 bulan saja berada di Tangse kemudian Belanda menangkap beliau dan ditahan di Kutaraja dalam status tahanan Kota. Selama tahanan Kota beliau menetap di rumah mendiang permaisuri Sulthan Mahmud Syah (Pocut Meurah) di Keudah Kutaraja.




Maklumat Ulama Seluruh Aceh





Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para ulama terkemuka di Aceh, yaitu Tgk. Muhd. Daud Beureueh, Tgk. Hasan Kroeng Kale, Tgk. Hasballah Indrapuri dan Tgk, Jakfar Siddiq Lambajat, mengeluarkan sebuah maklumat, yang dikenal dengan Maklumat Ulama Seluruh Aceh yang bertanggal 15 Oktober 1945 menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah sama dengan Perang Sabil, meneruskan perjuangan Teungku Chik Di Tiro.

Tgk. Umar Di Tiro, putera dari Tgk. Chik Di Tiro Mahadin, mendirikan pasukan Mujahidin pada bulan Nopember tahun 1945, Pemuda Hasan Muhammad Di Tiro, cucu dari Tgk. Mahadin Di Tiro ikut aktif memimpin organisasi BPI dan berperan dalam pengibaran bendera Merah Putih di Lam Meulo (lihat Hasan Muhammad Tiro. Demokrasi Untuk Indonesia hal. 211). Semuanya anak cucu Tgk. Chik Di Tiro pada waktu itu bersatu padu denga rakyat umum untuk meneruskan perjuangan suci Tgk. Chik Di Tiro. Aceh adalah satu-satu daerah yang masih merdeka pada waktu itu dan menjadi daerah modal perjuangan Republik Indonesia. Penyerahan Kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, adalah termasuk hasil perjuangan Tgk. Hasan Muhammad Tiro, yang pada waktu itu sebagai Sekretaris Mr. Syafruddin Prawira Negara, Kepala Pemerintahan Darurat di Aceh.

DR. Hasan Muhammad Di Tiro Pahlawan Reformasi

Sampai sekarang saya mencatat sudah 46 tahun sejak DR. Hasan Muhammad Di Tiro berjuang melawan pemerintahan Orde Lama – yang oleh Orde Reformasi sekarang ini – dianggap sebagai pemerintaahan yang zalim – diluar negeri sebagai Duta Besar Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1954 dan kemudian dilanjutkan dengan perjuangan melawan Orde Baru – yang oleh Orde Reformasi juga digolongkan sebagai pemerintahan yang zalim – dengan memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976, di daerah pegunungan Aceh dan diluar Negeri.

Perjuangan Dr. Hasan Muhammad Di Tiro melawan kezaliman dari pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pada hakikatnya telah berhasil dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan lengsernya Presiden Suharto dari pucuk pimpinan negara.

Sekarang pada Periode Jeda Kemanusiaan inn sudah waktunya bagi orang-orang Aceh yang bukan munafik untuk bersatu padu memerdekakan rakyat Aceh dari intimidasi, penindasan, ancaman terror, penculikan dan pembunuhan oleh oknum-oknum orang-orang yang bersenjata dan sekaligus membebaskan Daerah Aceh dan rakyatnya dari cengkeraman tangan orang-orang yang telah menjadikan Aceh sebagai proyek yang empuk untuk digarap guna mengait keuntungan material maupun politis dan popularitas pribadi. marilah besama-sama membawa Aceh ini keluar dari Darul – Harb menuju Darussalam. Marilah kita jadikan Masa Jeda Kemanusiaan sekarang ini, yang pada hakikatnya merupakan Rahmat Tuhan yang tidak ternilai harganya, menjadi wacana untuk memulihkan dan memuliakan harkat, martabat orang Aceh, yang selama ini terinjak-injak dan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional menuju perdamaian yang leastari.

Kepada Dr. Tgk. Hasan Muhammada Di Tiro sebagai cucu dari Tgk, Chik Mahyidin Di Tiro, saya menghimbau kembalilah ke tanah air untuk memimpin bangsa ini menuju kejayaan dan kemakmuran. Akan lebih bermakna dan akan “lebih besar manfaatnya daripada mudharatnya” jika anda berada di tanah air untuk memimpin bangsa dan negara tercinta ini. Anda akan disambut sebagai pahlawan oleh rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, seperti rakyat Iran menyambut Imam Ayatullah Khumeni pada waktu Revolusi Iran meletus: “Anda adalah Pahlawan Reformasi Bangsa”

Jika tulisan ini dapat sampai kepada para pembaca dan penulis diberi umur panjang, penulis merencanakan akan menurunkan sebuah tulisan lain, sebagai wacana pemikiran bagaimana caranya menyusun taktik dan strategi agar orang Aceh memperoleh kesempatan dan kemampuan untuk merebut kepemimpinan atau untuk memimpin Negara Indonesia yang sahamnya – yang diakui oleh Amin Rais – sebagian besar adalah milik orang Aceh, secara damai, demokratis tanpa pertumpahan darah. Meskipun untuk itu harus arif dan perlu menoleh kebelakang dan belajar memahami kembali arti dari nyanyian anak-anak Aceh tempo dulu, yang didendangkan sebagai berikut :

“Pok-pok le, Ma diblang Du Digle, pot boh me saboh karang, pot boh drang saboh tangke. Yang putik taproom dibak, yang masak tapajoh le”

Banda Aceh awal Juli 2000

T.A. Ben Peukan Tangse

*) Penulis adalah mantan Kepala Dinas Perikanan Propinsi D.I Aceh tahun 1960 – 1982 dan anggota Tim pembantu Penguasa Perang dalam penyelesaian Keamanan di Aceh tahun 1960).