Sejarah Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1514-2011)

Bookmark and Share


Pada awal abad ke XVII, untuk beberapa waktu lamanya, Aceh muncul sebagai Negara yang paling kuat, makmur dan beradab di kawasan tersebut. Saat kedatangan orang-orang Portugis di Malaka, Di seberang selat tersebut, Aceh sedang tumbuh sebagai Negara yang kuat. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m. 1514-30). Selama masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh.


Pada tahun 1520, Ali Mughayat Syah memulai serangan-serangannya. Pada tahun itu dia berhasil merebut daya yang terletak di pantai barat Sumatera di bagian utara. Pada tahun 1524, dia merebut Pedir dan Pasaisetelah berhasil mengusir Portugis. Stelah itu menyerang Aru dimana selanjutnya daerah tersebut menjadi medan perang antara Aceh dan Johor, dan baru pada tahun 1613 akhirnya Sultan Iskandar Muda dari Aceh merebut daerah itu.

Putra tertua Ali Mughayat Syah yang menjadi penggantinya Salahuddin , dianggap seorang penguas yang lebih lemah. Pada tahun 1537, suatu serangan yang dilancarkan oleh pihak Aceh mengalami kegagalan dan kira-kira pada masa itulah Salahuddin diturunkan melalui sebuah kudeta.

Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar adalah salah satu dari prajurit-prahurit Aceh yang terbesar. Dia dipercayai telah menyerang rakyat batak di sebelah selatan Aceh pada tahun 1539 setelah penguasa daerah itu menolak memeluk agama Islam. Sebenarnya beralihnya kelompok-kelompok masyarakat batak ke dalam agama Islam dan Kristen dimulai pada abad XIX. Sesudah itu dia menyerang Aru, tetapi berhasil dipukul mundur oleh kerajaan Johor , dan Johor menguasai Aru selama 24 tahun berikutnya. Alauddin al-kahar dikenang dalam tradisi Aceh bukan hanya sebagai raja pejuang saja, melainkan juga sebagai penguasa yang melembagakan pembagian masyarakat Aceh menjadi kelompok-kelompok garis keturunan adminstrasi (kaum atau sukee).

Pada awal abad ke XVII, penguasa yang terbesar diantara penguasa-penguasa Aceh mendudki singgasana. Dalam waktu singkat, Sultan Iskandar Muda (1607-36) membentuk Aceh sebagai Negara yang paling kuat di Nusantara bagian barat. Dia mampu mengendalikan kalangan elit Aceh (orang kuat) yang memberikan dukungan kepadanya. Dia juga menciptakan suatu kelompok bangsawan baru yang terdiri atas para ‘panglima perang’ (dalam bahasa melayu Hulubalang dan dalam bahasa Aceh uleebalang); mereka menguasai daerah-daerah berdasarkan hak milik feodal. Setelah Iskandar Muda, tahta di Aceh digantikan oleh menantunya selanjutnya tahta pun dipegang oleh Seorang wanita dengan gelar Taj ul-Alam (m. 1641-75), dan mengadakan perjanjian dengan Johor yang menyebutkan mulai saat itu masing-masing pihak akan memikirkan urusannya sendiri. Mulai saat itu, Johor berkembang menjadi Negara yang sangat makmur dan mempunyai pengaruh sangat besar, karena pada tahun 1641 bukan hanya ancaman dari Aceh saja yang hilang, melainkan juga Portugis berhasil diusir dari Johor dan VOC dari Malaka.

Aceh memasuki masa perpecahan di dalam negeri yang panjang, dan Negara ini tidak lagi menjadi kekuatan yang penting di luar ujung Sumatera. Empat orang ratu memerintah negeri ini antara tahun 1641 dan 1699, dan kekuasaan raja mulai terbatas hanya di ibu kota Negara saja. Para uleebalang berubah menjadi penguasa yang turun-temurun di wilayah-wilayah yang terpencil, dan para pemimpin keagamaan (Imam atau Ulama) muncul sebagai sebuah kekuatan yang menjanjikan. Kesultanan menjadi sebuah lembaga simbolis yang lemah. Sejak tahun 1699 hingga 1838, Negara ini diperintah oleh sebelas orang sultan yang hamper tidak berarti sama sekali, termasuk tiga orang berkebangsaan Arab (1699-1726), dua orang Melayu (keduanya memerintah dalam tahun 1726), dan enam orang Bugis (1727-1838).

Tahun 1873 pada masa pemerintahan Sulthan Alaidin Mahmud Syah Kerajaan ini dinyatakan perang oleh negara sahabatnya dulu yakni Netherland setelah terjadi tawar menawar kepentingan melalui surat diplomasi yang berakhir penyerangan hingga menyebabkan tewasnya panglima Perang Netherland yaitu Major Jenderal J.H.R Kohler tanggal 14 April 1873.

Namun kegagalan ini membuat Belanda Berang, akhirnya Penyerangan kedua pun dimulai dengan kesuksesan besar sehingga Bandar Aceh Darussalam dibumi hanguskan.Dengan semangat yang masih membara dan kepintaran yang sangat luar biasa dalam mengatur pemerintahan Sulthan Alaidin Mahmud Syah memindahkan Ibukota Kerajaan hingga mengalahkan pernyataan BELANDA yang mengatakan TELAH MENGUASAI IBUKOTA KERAJAAN ISLAM ACEH DARUSSALAM.Sikap ketamakan dan kebencian serta kelicikan Belanda, Sulthan ini berhasil dibunuh dengan disebarnya wabah Kolera.Setelah Sulthan Alaidin Mahmud Syah meninggal karena wabah kolera, dengan semangat Kedaulatan yang tinggi para Mufti kerajaan dan Pembesar kerajaan lainnya Mengangkat Tuanku Muhammad Daud bin Tuanku Zainal Abizin sebagai Sulthan Aceh yang bergelar Sulthan Alaidin Muhammad Daud Syah. Namun karena Sulthan masih kecil, akhirnya para pembesar Kerajaan menunjukkan Tuanku Hasyim Banta Muda Sebagai Pemangku Sulthan.Perjuangan untuk tetap berdaulat membuat para petinggi Kerajaan dan Prajurit kerajaan Aceh harus bergerilya berperang mengusir Penjajah Negara Islam Aceh yaitu Belanda hingga akhirnya Sulthan Alaidin Muhammad Daud Syah memindahkan Ibukota Kerajaan ke Keumala Dalam.Di Keumala Dalam inilah Sulthan Muhammad Daud Syah mengatur Pemerintahan dan mengangkat Tgk Chiek Muhammad Saman di Tiro sebagai wazir Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam, urusan Perang Sabil tahun 1883 setelah diputuskan dalam Musyawarah Besar para Petinggi kerajaan di Keumala Dalam hingga akhirnya Tgk Chiek Muhammad Saman di Tiro meninggal tahun 1891 karena diracuni oleh janda yang telah diupah oleh Belanda. Sepeninggalan Tgk Chiek Muhammad Saman, Pemimpin Perang Sabil dengan persetujuan Sulthan dipegang oleh “Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Amin” dan setelah Tgk. Di Tiro Muhammad Amin Syahid di Aneuk galong pada tahun 1896, pucuk pimpinan Perang Sabil di pegang oleh Tgk. Chik Di Tiro Mahidin yang terus bergrilya dipegunungan sekitar Tangse.

Pada saat Sulthan Muhammad Daudsyah, terpaksa menyerahkan diri 1903 karena disanderanya Permaisuri dan putera Mahkota yaitu Tuanku Raja Ibrahim, pimpinan Kesulthanan Aceh diamanahkan kepada Panglima Polim dan Teungku Chik Di Tiro Mahidin, kemudian setelah Teuku Panglima Polim terpaksa menyerahkan diri pula seperti kasus yang dialami oleh Sulthan, karena di sandera keluarganya, kekuasaan pengendalian Kesulthanan Aceh dalam perjuangan, berada dalam tangan Tgk. Di Tiro Mahidin. Kekuasaan tersebut dipegangnya sampai beliau syahid pada tahun 1910 di Gunung Halimun tangse. Mayat Tgk. Chik Di Tiro Mahidin dikebumikan di komplek pemakaman keluarga besar Teuku Itam Tangse yang terletak di komplek Mesjid I Tangse.Sulthan Muhammad Daud Syah yang telah menyerahkan diri akhirnya diasingkan ke Batavia dan sempat pula diasingkan ke Ambon dan akhirnya diasingkan kembali ke Batavia hingga beliau meninggal tahun 1939 di Jakarta.Sulthan Muhammad Daud Syah mempunyai seorang anak dari Istrinya "teungku Putroe Gamboe Gadeng" yaitu Tuanku Raja Ibrahim dan beberapa anak dari istrinya Hj. Neng Effi yang dari Banten.Tuanku Raja Ibrahim merupakan Putera tertua dari Sulthan Muhammad Daud Syah, Tuanku ini juga pernah diasingkan oleh Belanda bersama dengan Ayahanda dan Ibundanya ke Batavia hingga akhirnya beliau pulang kembali ke Aceh tahun 1937. Sampai tahun 1960 Tuanku Raja Ibrahim menjabat Mantri Tani di Sigli dan sempat diberikan rumah untuk tinggal sementara oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan syarat dikembalikan sepeninggalnya beliau.

1 maret 1982, sang Putera mahkota ini meninggal Dunia dan dikebumikan di BAPERIS.Sang Putera Mahkota ini juga mempunyai keturunan 16 orang putera-puteri dari beberapa istrinya.Putera-puteri dari Putera Mahkota saat ini yang masih hidup hanya tinggal 10 orang diantaranya :

1. Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Alam, menetap di Mataram (Lombok)

2. TP Sariawan di Geuceu

3. TP Sukmawati di Merduati

4. TR Yusuf di Lam Pineueng

ketiganya menetap di Banda Aceh

5. TP Rangganis, beliau saat ini menetap di TangseKab. Pidie

6. TR Sulaiman

7. TR Ishak Badruzzaman

keduanya menetap di LAmlo kec. Sakti Kab. Pidie

8. TR Daud

9. TR Syamsuddin

keduanya menetap di Lhoksumawe

10. TP Gambar Gading, menetap di Sabang

10 orang ini merupakan anak dari tuanku Raja Ibrahim dan merupakan cucu dari Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah.selain 10 orang ini, sebenarnya masih ada cucu Sulthan Muhammad Daud Syah yang dari Istri beliau yang dari Banten yaitu Hj Neng Effi. Namun karena ketidakpedulian dan ketidak ingin tahuan kita seakan-akan hanya 10 orang inilah yang ada.kesepuluh dari cucu Sulthan Muhammad Daud Syah ini pun mempunyai keturunan juga. Namun tentang keberadaan keturunan yang Mulia inipun terkesan ditutupi...w'allahu a'lam.

ajeer campes