Bookmark and Share


NILAI NILAI KEPAHLAWAN MUNGKIN SUDAH TERCERABUT DIHATI DAN BENAK KITA

Nelay Nugraha romantisme jangan jadi tuan, ayo ga perlu mengeluh,…..

Siapa sih yang tidak kenal dengan tempat yang satu ini, masyarakat di Wewengkon Ciledug sangat passti mengenalnya. Kita banyak yang tidak tahu bahwa disitu pernah dijadikan ajang pertempuran, untuk mengenang pertempuran itu dibuatlah Monumen Perjuangan Rakyat Maneungteung.



Patung Perjuangan Rakyat Maneungteung


Data yang saya himpun tentang para pelaku yang heroik ditempat ini sangat minim. Yang mungkin hanya menjadi saksi adalah sebuah monumen yang penuh coretan vandalisme.

Abah Haji Nana Sudiana dalam sebuah postingan poto di halaman jejaring sosial facebook Forum Kota Ciledug Cirebon, mengatakan :


“Monumen Perjuangan Maneungteung…

Siapa yang bertanggungjawab dengan keberadaannya…?

Apakah Kita, Pemerintah atau Beliau Para Veteran…

Sementara disekitarnyapun, wilayah ini sudah dikapling-kapling Para Penggali Tambang, antek-antek kapitalis yang bersimbiose dengan para birokrat dan politikus yang juga antek-antek KAPITALIS…

Haru Biru Maneungteung…akan tetap mewarnai kehidupan kita….”



Di Bukit Ini Pertempuran Demi Pertempuran Tidak Akan Pernah Usai


Siapapun pasti geram melihat kondisi monumen yang rusak tanpa ada yang peduli, siapa yang bertanggung jawab. Atau mungkin sangat benar karena nilai-nilai kepahlawanan mungkin sudah tercerabut dari hati nurani dan benak kita.

Bukan untuk menjadi pahlawannya, mungkin ini ungkapan para pelaku pejuang di Maneungteung saat bertempur. Bahkan mungkin beliau-beliau ini tidak pernah berpikir dan tersirat dihatinya, bahwa mereka akan jadi pahlawan di negeri ini. Yang ada adalah berjuang dan berjuang untuk kemerdekaan negri ini. Tidak untuk disebut pahlawan.


aneungteung adalah sebuah bukit yang lebih dikenal dengan nama Azimut, padahal nama ini adalah nama kontraktor yang melaksanakan pembuatan tower refeater telkom ditempat ini, yang lokasinya berdampingan dengan monumen. Maneungteung jika dilihat dipeta topografi baheula disebut juga Pasir Waled, tepatnya berada di Desa Waled Asem Kecamatan Waled Kabupaten Cirebon.



Kenapa dulu, para perjuang bertempur matia-matian denga senjata ala kadarnya, karena mungkin ditempat ini memang harus dipertahankan (jawaban pasti kenapa Maneungteung Harus Di Pertahankan) ada di hati para pejuang itu. Saya berpendapat karena satu jengkalpun tanah kita, dilarang dikuasai penjajah. Titik.


Medio September 2008 para penjajah itu kembali datang, ujudnya bukan orang bule dengan logat cas cis cus sedikit sedikit ngomong inlander alias walanda. Penjajah ini lebih lihay dan lebih pintar dan lesang jiga belut (licin seperti belut). Mereka menjajah tempat ini dengan atas nama Pembangunan Proyek Nasional Jalan Tol Kanci Pejagan.



Jika dahulu bertempur melawan penjajah bule rame-rame, yang sekarang justeru hanya segelintir orang dengan alat apa adanya. Hanya keberanian yang dipunyai. Bukan bambu runcing atau senapan. Tapi yang dipakai adalah handphone jadul untuk mangambil gambar dan merekam aktivitas para penjajah itu. Cara bertempurnyapun unik, melalui dunia internet di warnet tentunya, info dilapangan disebar melalui milis, jejaring fesbuk, blog, web dsb. Sangat luar biasa hasilnya mesti harus 8 jam sehari nongkrong di warnet.



Terima kasih kepada semua para pejuang yang telah bahu membahu di Pertempuran Jilid Dua Di Bukit Maneungteung yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu dan hormat senjata buat para brotherhood Petakala Grage, Admin Forum Kota Ciledug Cirebon, Walhi Jabar, Rapel Cirebon, Prof. Nurjito atas kajian konservasi kawasan karst, Mas Didik Raharyono, rekan-rekan Media dari Kompas, Kabar Cirebon, Pikiran Rakyat, Radar Cirebon, Tempo, Gatra juga untuk Abah Haji Nana Sudiana atas sokongan doa, moril dan materialnya, Mas Noenk Wisnoentoro atas pinjaman laptop dan alat-alat bertempur lainnya, Kang Yatno Kartaraharja atas kajian budayanya, Kang Kirman Napikin atas “like”nya di fesbuk, juga kepada Abah dan Mimih Inspiratorku “Amin Madjmoe dan RA Kapsah” terlebih kepada para pendamping hidupku Istriku Farida Hanura yang telah rela menyisihkan uang dapur untuk perjuangan ini, Anakku Gladies Kariima Dea Madjmoe, M.Afrijal Darmawan dan M.Bagus Nurfallah yang telah rela menyisihkan uang jajan yang sedikit dari bapak untuk perjuangan ini.




Karena Pertempuran Belum Juga Usai dan Tidak Akan Pernah Usai….



(Deddy Madjmoe, pelaku pertempuran di Bukit Maneungetung Jilid Dua sejak September 2008 hingga hari ini 10 Nopember 2011)