Bookmark and Share


Berperang memperebutkan kemerdekaan dan terlepas dari belenggu penjajahan bukan hanya dengan tembakan, tetapi juga komunikasi rahasia atau sandi yang digunakan untuk alat mengelabui musuh. Dan sandi itulah diduga kuat yang digunakan Radio Rimba Raya (RRR) dalam menjalin koordinasi ke sesama pejuang yang bergerilya diseluruh “hutan belantara” republik Indonesia, yang kemudian diketahui menjadi media perang urat syaraf.





Demikian kesimpulan Lembaga Sandi Negara (LSN) Jakarta, saat mengunjungi lokasi Sejarah Radio Rimba Raya di Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Selain itu, anggota LSN Jakarta juga bertemu dengan saksi sejarah Radio Rimba Raya, Reje Mude Tukiran atau biasa disapa Aman Jus, beberapa waktu lalu.

“Kita meyakini adanya komunikasi rahasia antara Yogyakarta, New Delhi dan New York yang dilakukan melalui Radio Rimba Raya, kita tetap meyakini itu,” kata Kasubbag Informasi dan Media Lembaga Sandi Negara, Budi Santoso, kepada The Atjeh Post.

Meski belum mendapatkan data akurat tentang komunikasi rahasia radio tersebut, kata Budi, kunjungan perdana mereka masih survey awal untuk menjejaki area bersejarah di Wilayah Aceh itu. Dan diakui Jioko, Radio Rimba Raya telah diketahui sebagai corong kemerdekaan Republik Indonesia. Namun dibalik itu masih ada “kisah” lain untuk mempertahankan eksistensinya yang berfungsi sebagai “senjata terakhir” mempertahankan Bangsa Indonesia.

“Kita akan mencoba mengumpulkan data tentang Radio Rimba Raya, agar komunikasi rahasia ini akan dapat ditemukan, dan Lembaga Sandi Negara akan mengunjungi sejumlah lokasi yang memiliki kaitan dengan Radio Rimba Raya," kata Budi didampingi sejumlah crew.

Namun Budi tidak dapat menjelaskan kapan “misteri” sandi Radio Rimba Raya dapat terungkap, karena untuk survey tidak memiliki batas waktu.

“Kegiatan ini merupakan suatu kewajiban dalam sejarah persandian, kebenaran sejarah itu harus ditemukan dan kita meyakini, tapi kita belum tahu komunikasi rahasia RRR seperti apa, maka dari itu kita harus menelusurinya,” jelas Budi Santoso. (*)